dikutip dari : Abdul Majid
PENDAHULUAN
Banyak tulisan modern sarat
dengan perasaan absurditas, kebosanan, kemuakan dan ketidak-artian.
Bagaimana timbulnya semua perasaan muram ini? Jelaslah antara lain
karena dua kali terjadi perang dunia yang disertai badai kekerasan,
kebencian serta ketidak-manusiawian dan mengakibatkan korban
berjuta-juta, ditambah lagi semua pengungsi dan orang yang kehilangan
tempat tinggal. Barangkali yang paling buruk bukanlah kekerasan fisik,
melainkan pembusukan kepribadian serta hati nurani karena perang memaksa
manusia
memainkan peranan-peranan di mana ia tidak lagi mengenal dirinya
sendiri dan mengkhianati keterlibatannya. Perang seolah-olah
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menghancurkan
kemungkinan untuk bertindak dengan cara yang sungguh-sungguh manusiawi.
Pertanyaan yang menarik bagi kita ialah apakah kita sebagai pribadi atau
sebagai masyarakat, masih sanggup memberikan suatu makna kepada
kehidupan kita. Kita berefleksi tentang diri kita sendiri dan tentang
pertanyaan eksistensial ini: apakah hidup kita masih mempunyai makna?
Dan kalau masih ada makna yang bagaimana? Dalam tulisan ini kami
berusaha untuk menampilkan beberapa filsuf yang representatif berbicara
mengenai
manusia. Beberapa thema yang penting yang menjadi pokok pembahasan yang digeluti misalnya seperti tentang siapakah
manusia (Sokrates), makna tertinggi keberadaan
manusia (Plato), esensi atau hakekat
manusia (Descartes), eksistensi
manusia (Kierkegaard, Sartre), tubuh
manusia
(Plato, Marcel). Dan akhirnya kami mengakhiri tulisan ini dengan sebuah
mini eksegese dari tulisan Paulus kepada jemaat di Roma (pasal 12:1-2)
yang menurut hemat kami menjadi jawaban yang mengakhiri semua perdebatan
filsuf-filsuf tentang
manusia.
PRE-SOKRATES — SOKRATES
Pada permulaan perkembangan pemikiran
filsafat
Yunani, tampaknya semata-mata berurusan dengan dunia fisik saja.
Kosmologi jelas amat mengungguli penyelidikan-penyelidikan dalam
cabang-cabang
filsafat lainnya.
· Mazhab Milesian mengembangkan
filsafat jasmaniah.
· Mazhab Pythagorean mengembangkan
filsafat
matematis. Aliran ini berpendapat bahwa unsur-unsur kualitatif kosmos
berasal dari unsur-unsur kuantitatif, yaitu bilangan-bilangan. Mazhab
ini juga menaruh perhatian yang dalam pada masalah
manusia, tetapi terutama dari sudut keagamaan di dalam kelompok tertutup tempat mereka hidup.
·
Para pemikir Eleatik menjadi orang-orang pertama yang menggariskan
cita-cita logika. Mereka menegaskan bahwa hanya rasio yang dapat membuka
jalan ke arah Ada yang benar dan nyata.
· Heraklitos berdiri pada
garis perbatasan antara pemikiran kosmologis dan pemikiran antropologis.
Dia menolak konsep tentang Ada yang dikemukakan Mazhab Eleatik. Bagi
dia, pengenalan indrawi menjadi titik tolak yang terpecaya meskipun ia
sangat menjunjung tinggi rasio (logos) sebagai kemampuan untuk mengenal,
namun rasio itu sama bergerak dan terlibat dalam proses menjadi seperti
segala sesuatu yang ada.
· Protagoras, seorang sofis, mengatakan
bahwa bukanlah Ada yang menentukan pengenalan kita, melainkan pengenalan
kita yang menentukan Ada. Jadi bukan obyektivisme, melainkan
subyektivisme. Oleh sebab itu dia berpendapat bahwa “
manusia adalah tolok ukur untuk segala-galanya”.
Meskipun
mereka tergolong filsuf alam, namun Heraklitos sudah yakin bahwa
mustahil menyelami rahasia alam tanpa mempelajari rahasia
manusia.
Kita harus memenuhi tuntutan akan pengenalan diri bila kita hendak
tetap menguasai realitas dan memahami maknanya. Oleh sebab itu
Heraklitos menyebut seluruh filsafatnya dengan dua kata edizesamen
emeoton (“Aku mencari diriku sendiri”). Namun kecendrungan berpikir yang
baru ini, baru matang pada masa Sokrates, sehingga persoalan tentang
manusia
merupakan patokan yang membedakan pemikiran Sokrates dengan pemikiran
pre-Sokrates. Ungkapan Sokrates yang sangat terkenal adalah “kenalilah
dirimu sendiri”.
Manusia
adalah makhluk yang terus-menerus mencari dirinya sendiri dan yang
setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi
eksistensinya. Sokrates berkata dalam Apologia, “Hidup yang tidak
dikaji” adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi. Bagi Sokrates,
manusia adalah makhluk yang bila disoroti pertanyaan yang rasional dapat menjawab secara rasional pula. Menurut Sokrates, hakekat
manusia
tidak ditentukan oleh tambahan-tambahan dari luar, ia semata-mata
tergantung pada penilaian diri atau pada nilai yang diberikannya kepada
dirinya sendiri. Semua hal yang ‘ditambahkan dari luar’ kepada
manusia
adalah kosong dan hampa. Kekayaan, pangkat, kemasyhuran dan bahkan
kesehatan atau kepandaian semuanya tidak pokok (adiaphoron).
Satu-satunya persoalan adalah kecendrungan sikap terdalam pada hati
manusia. Hati nurani merupakan “hal yang tidak dapat memperburuk diri
manusia, tidak dapat juga melukainya baik dari luar maupun dari dalam”.
PLATO (427 – 347 SM)
Terjadi
titik balik dalam kebudayaan dan pemikiran Yunani ketika Plato
menafsirkan semboyan “kenalilah dirimu sendiri” (gnothi seauton) dengan
cara yang sama sekali baru. Penafsiran ini memunculkan persoalan yang
tidak hanya tidak terdapat pada pemikiran pre-Sokrates, tetapi juga di
luar jangkauan metode Sokrates sendiri. Untuk memenuhi permintaan orakel
Delphi, untuk memenuhi kewajiban religius berupa pengkajian diri serta
pengenalan diri, Sokrates mendekati
manusia
sebagai individu. Pendekatan Sokrates ini oleh Plato dianggap punya
keterbatasan-keterbatasan. Bagi Plato, untuk memecahkan persoalan
tersebut kita harus membuat rancangan yang lebih luas. Dalam pengalaman
individual, kita menghadapi gejala-gejala yang demikian beraneka, rumit
dan saling bertentangan, sehingga kita sulit melihatnya secara jelas.
Manusia seharusnya dipelajari dari sudut kehidupan sosial dan politis. Menurut Plato,
manusia adalah ibarat teks yang sulit, maknanya harus diuraikan oleh
filsafat.
Tapi dalam pengalaman kita sebagai pribadi, teks itu ditulis dengan
huruf-huruf yang terlampau kecil sehingga tidak terbaca. Maka sebagai
tugas pertama,
filsafat harus ‘memperbesar’ tulisan-tulisan tersebut.
Filsafat hanya dapat mengajukan teori yang memadai tentang
manusia apabila sampai pada teori tentang negara. Dalam teori tentang negara, sifat-sifat
manusia
ditulis dengan huruf-huruf besar. Dalam teori tentang negara, arti
‘teks’ yang semula tersembunyi seketika muncul, dan apa yang semula
kabur dan ruwet menjadi jelas dan dapat dibaca. Namun negara bukanlah
segala-galanya, serta negara tidak mencerminkan dan tidak menyerap
seluruh aktivitas
manusia, meskipun kegiatan
manusia dalam perkembangan sejarahnya berhubungan erat dengan bertumbuhnya negara. Plato bertitik tolak dari
manusia yang harmonis serta adil dan dalam hal itu ia menggunakan pembagian jiwa atas 3 fungsi, yaitu:
· Epithymia (suatu bagian keinginan dalam jiwa).
· Thymos, (suatu bagian energik dalam jiwa).
· Logos, (suatu bagian rasional dalam jiwa dan sebagai puncak dan pelingkup).
Menurut Plato, negara diibaratkan sebagai
Manusia Besar, sebagai organisme yang terdiri atas 3 bagian atau golongan yang masing-masing sepadan dengan suatu bagian jiwa, yaitu:
· Epithymia, golongan produktif yang terdiri dari buruh, petani, dan pedagang.
· Thymos, golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit.
· Logos, golongan pejabat yang memegang pucuk pimpinan dan kekuasaan.
Plato
juga mengajarkan teori tentang pra-eksistensi jiwa. Dia mengatakan
sebelum kita dilahirkan, atau sebelum kita memperoleh suatu status
badani, kita sudah berada sebagai jiwa-jiwa murni dan hidup di kawasan
lebih tinggi di mana kita memandang suatu dunia rohani. Sejak kita
dilahirkan, kita berada di bumi dan jiwa kita meringkuk dalam penjara
tubuh, terbuang dari daerah tinggi itu. Karena penjelmaan dalam tubuh
itu, jiwa kita tidak lagi menyadarkan diri dan dengan mendadak tidak
lagi menyadari pengetahuan tentang idea-idea dalam dunia kayangan dulu.
Dari sini Plato kemudian mengembangkan teori tentang
manusia.
Manusia
pada mulanya adalah roh murni yang hidup dari kontemplasi akan yang
ideal dan yang ilahi. Jadi, kemungkinan dan makna ultimate keberadaan
manusia
mula-mula terletak dalam kehidupan yang berkaitan erat dengan yang
baik, yang benar, dan yang indah. Tetapi kita gagal mencapai kehidupan
yang sebagaimana mestinya karena kita menyimpang dari kiblat idea-idea
tersebut, sehingga kita langsung terhukum dengan dipenjarakannya jiwa ke
dalam tubuh. Kita harus berusaha naik ke atas dan memperoleh perhatian
dan cinta besar untuk dunia ideal dan ilahi itu. Akan tetapi kemungkinan
untuk mewujudkan makna ini sangat dibatasi karena kita terbelenggu
dalam materi. Bagi kita, dunia jasmani dan tubuh menjadi
kemungkinan-kemungkinan buruk untuk tersesat lebih jauh lagi dan
tenggelam dalam rawa-rawa materi dan sensual. Kemungkinan yang paling
jahat ialah menyerahkan diri sepenuhnya kepada dirinya sendiri (egoisme
radikal) dan kepada benda-benda jasmani (materialisme dan sensualisme).
Jadi, bagi
manusia,
dunia dan tubuh itu bersifat ambivalen, artinya dunia serta tubuh dapat
merayu dia ke arah kemungkinan-kemungkinan yang jahat, tetapi dapat
juga mendorong dia kepada kemungkinan-kemungkinan yang baik.
Manusia
memiliki suatu daya yang kuat dan gemilang yang dapat mendorong dia ke
atas, yaitu cinta (eros). Eros adalah daya kreatif dalam diri
manusia,
pencetus kehidupan, inspirator para penemu, seniman dan genius. Eros
memenuhi kita dengan semangat kebersamaan, membebaskan kita dari
kesendirian kita, dan mengajak kita ke pesta, musik, tarian, dan
permaian. Plato menyebutnya sebagai “bapak segala kehalusan, segala
kepuasan dan kelimpahan, segala daya tarik, keinginan dan asmara”. Eros
mendorong kita semakin tinggi, sehingga kita dapat beralih dari cinta
yang kelihatan kepada cinta yang tidak kelihatan, ideal, ilahi. Menurut
Plato, kematian hanyalah permulaan suatu reinkarnasi baru yang lebih
rendah atau lebih tinggi daripada keberadaannya sebelumnya. Dalam
karyanya: Phaidros, Plato berkata bahwa setelah 10.000 tahun, jiwa akan
kembali ke asal usulnya. Jadi menurut pandangan Plato,
manusia mempunyai banyak jiwa dan banyak
manusia individu.
RENE DESCARTES (1596-1650)
Filsafat Rasionalismenya membawa dampak terhadap pandangan tentang
manusia. Pemikiran-pemikiran penting dalam filsafatnya:
·
Ada dua bentuk realitas yang berbeda, dua “substansi”. Yang pertama
adalah gagasan (res cogitan), atau “pikiran”, dan yang kedua adalah
perluasan (res extensa). Pikiran itu adalah kesadaran, tidak mengambil
tempat dalam ruang. Materi adalah perluasan, mengambil tempat dalam
ruang dan tidak mempunyai kesadaran.
· Kedua substansi tersebut
tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Pikiran sama sekali tidak
tergantung pada materi, sebaliknya proses materi juga tidak tergantung
pada pikiran à dualisme.
·
Manusia
adalah makhluk ganda yang mempunyai pikiran dan badan perluasan. Apa
yang kita pikirkan dengan akal kita tidak terjadi di dalam badan – itu
terjadi di dalam pikiran, yang sama sekali tidak tergantung pada
realitas perluasan. Namun Descartes tidak dapat menyangkal bahwa ada
interaksi konstan antara pikiran dan badan. Interaksi konstan
berlangsung antara “roh” dan “materi”. Pikiran dapat selalu dipengaruhi
oleh perasaan dan nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan
badaniah. Namun pikiran dapat menjauhkan diri dari impuls-impuls
‘tercela’ semacam itu dan bekerja tanpa tergantung pada badan (jika aku
merasakan sakit yang amat-sangat pada perutku, jumlah sudut dalam sebuah
segitiga tetap 180 derajat. Maka
manusia
mempunyai kemampuan untuk bangkit mengatasi kebutuhan-kebutuhan
badaniah dan bertindak secara rasional. Dalam hal ini pikiran lebih
unggul daripada badan.
SÖREN KIERKEGAARD (1813-1855)
Sebagai Bapak Eksistensialisme, pandangan filosofis Kierkegaard tentunya banyak membahas tentang
manusia, khususnya eksistensinya. Beberapa point yang penting dalam filsafatnya:
· Individu tidak ditempatkan di hadapan Ketiadaan, melainkan di hadapan Tuhan.
· Dia menganggap Hegelianisme sebagai ancaman besar untuk individu, untuk
manusia selaku persona.
·
Yang harus dipersoalkan terutama subyektivitas dari kebenaran, yaitu
bagaimana kebenaran dapat menjelma dalam kehidupan individu. Kebenaran
obyektif – termasuk agama – harus mendarah daging dalam si individu.
·
Yang penting ialah bahwa aku memahami diriku sendiri, bahwa kulihat
dengan jelas apa yang Tuhan kehendaki sungguh-sungguh agar aku perbuat.
Yang terutama kubutuhkan ialah mendapatkan suatu kebenaran yang adalah
benar untuk aku, suatu ide yang bisa mengilhami kehidupan dan
kematianku. Apakah gunanya menemukan suatu kebenaran yang disebut
obyektif dan mempelajari semua sistem filosofis . Sejauh mana ada
baiknya bagiku dapat menjelaskan arti agama Kristen bila agama itu tidak
mempunyai arti mendalam untuk aku sendiri dan kehidupanku .”
Kierkegaard mencari
kebenaran yang konkret serta eksistensial, suatu pengetahuan yang dihayati (connaissance vécue), a real knowledge.
· Dia membedakan
manusia dalam stadium estetis, etis dan religius.
· Pada stadium estetis
manusia
membiarkan diri dipimpin oleh sejumlah besar kesan-kesan indrawi,
mengikuti prinsip kesenangannya, lebih dijadikan hidup daripada ia hidup
sendiri.
Manusia
menyibukkan diri dengan rupa-rupa hal, tetapi ia tidak melibatkan diri;
ia hanya tinggal seorang penonton yang berminat. Ia bisa menjadi
seorang hedonis yang sempurna, seorang “perayu” seperti Don Juan, atau
seorang yang “sok tahu” dan seorang Sofis (mis. Mendalami
filsafat dan teologi).
·
Kebosanan, kekurangsenangan dan kecemasan memimpin seseorang ke arah
stadium etis. Mulai mekar keinsafan akan kemungkinan-kemungkinan kita,
akan kebebasan, tanggung jawab dan kewajiban kita. Kita sampai pada diri
kita sendiri, menggantungkan kehidupan kita pada norma, bertumbuh
menjadi persona. Kita semakin mengikat diri, dari penonton menjadi
pelaku, kita melibatkan diri. Dalam stadium ini juga,
manusia
menyadari keadaannya yang tragis dan bercacat; ia menginsafi bahwa ia
penuh kekurangan. Ia akan merasa jengkel karena ketidaksempurnaannya
serta ketidaksanggupan morilnya dan mungkin akan memberontak terhadap
seluruh tatanan etis.
·
Manusia
bisa merasa dirinya kecil dan tidak berdaya sambil mendambakan topangan
serta bantuan Tuhan, yang mengulurkan tangan-Nya untuk membantu
manusia
yang terkoyak-koyak (bandingkan Mat 5:3). Bila kita menangkap tangan
ini dan membuka diri untuk Tuhan, maka kita tiba pada stadium religius.
Sebagai orang Kristen – ia berani menerjunkan diri ke dalam petualangan
untuk – dengan ketidakpastian intelektual yang besar – mempertaruhkan
seluruh jiwa raganya demi mengikuti jejak Kristus. Iman kepercayan
Kristiani itu bersifat paradoks, sebagaimana Kristus merupakan Paradoks
besar yang mempersatukan keabadian serta keduniawian, keilahian serta
kemanusiawian. Hidup sebagai Kristen adalah cara hidup tertinggi yang
merupakan kemungkinan ultim dan makna keberadaan
manusia.
GABRIEL MARCEL (1889-1973)
Salah satu thema utama dalam filsafatnya adalah mengenai tubuh. Beberapa hal yang penting:
·
Masalah mengenai “mempunyai” dan “Ada” dikaitkan dengan tubuh. Saya
mempunyai tubuhku atau saya adalah tubuhku? Tubuhku bagi saya bukan
obyek, melainkan selalu melibatkan pengalaman saya sendiri tentang
organisme fisis-kimiawi, inilah yang ingin diselidiki oleh Marcel.
·
Analogi “saya mempunyai tubuhku” dengan “saya mempunyai anjingku” harus
dihentikan karena tiga aspek: 1) antara saya dan tubuhku tidak terdapat
struktur qui-quid (subyek yang mempunyai dan yang dipunyai) seperti
antara saya dan anjingku; 2) tubuh tidak berada di luar saya seperti
halnya dengan anjing; 3) saya tidak merupakan “yang lain” terhadap
tubuhku seperti saya memang merupakan “yang lain” terhadap anjingku.
·
Tubuh bukanlah alat. Martil berada antara tukang kayu dan papan yang
sedang dikerjakan. Tubuh tidak berada antara aku dan apa yang sedang
dikerjakan. Bila saya menulis, tubuh tidak berada antara “aku” dan
kertas.
· Tubuh adalah “alat absolut”, artinya alat yang memungkinkan alat2 tetapi tidak merupakan alat bagi sesuatu yang lain.
·
Tubuh adalah “prototipe” di bidang “mempunyai”, yang memungkinkan untuk
mempunyai tetapi tidak dipunyai oleh sesuatu yang lain.
· Sekalipun
demikian saya tidak identik begitu saja dengan tubuhku. Tetapi jelas
penengahan antara saya dan tubuhku tidak bersifat instrumental. Marcel
menyebutnya sympathetic mediation: penengahan pada taraf “merasakan”
(sentir). Saya adalah tubuhku, hanya sejauh saya adalah makhluk yang
merasakan.
· Proses “merasakan” harus dimengerti sebagai suatu
“message” dari luar yang diterima di dalam subyek. Garis pemisah yang
ditarik antara “di luar” dan “di dalam” harus ditolak karena “menerima”
dalam hal perasaan tidak pernah sama dengan “menerima semata-mata
pasif”. “Menerima” di sini harus dimengerti sebagai partisipasi, membuka
diri, memberikan diri; “menerima” seperti tuan rumah menyambut
tamu-tamunya. “Merasakan” berarti menerima dalam wilayah yang merupakan
wilayah saya.
· “Inkarnasi”
manusia
hanya mungkin karena dengan tubuhku saya berada dalam dunia, bukan saja
dalam arti bahwa saya dapat mempengaruhi benda-benda, tetapi juga dalam
arti bahwa saya terpengaruhi oleh benda-benda. Dualisme antara “di
luar” dan “di dalam” harus ditinggalkan. Inkarnasi itu merupakan titik
tolak refleksi filosofis dan bukan cogito atau kesadaran.
JEAN PAUL SARTRE (1905 -1980)
Manusia merupakan suatu proyek ke masa depan yang tidak mungkin didefinisikan.
Manusia adalah sebagaimana ia diperbuat oleh dirinya sendiri. Ia adalah masa depannya. Moral dan etika harus diciptakan oleh
manusia
sendiri. Kita adalah kebebasan total, “kita dihukum untuk bertindak
bebas”. Inilah kemegahan dan sekaligus kemalangan bagi kita, sebab
kebebasan mengandung juga tanggung-jawab. Kita bertanggung-jawab atas
seluruh eksistensi kita dan bahkan kita bertanggung-jawab atas semua
manusia karena terus-menerus kita adalah
manusia
yang memilih dan dengan memilih diri kita sendiri, kita sekaligus
memilih untuk semua orang. Dari tanggung-jawab yang mengerikan ini
lahirlah kecemasan atau keputus-asaan. Kita berusaha meloloskan diri
dari kecemasan serta keputusasaan itu melalui sikap malafide (mauvaise
foi) serta keikhlasan (sincerite), dengan berlagak seolah-olah kita bisa
ada sebagaimana seharusnya kita ada dan secara diam-diam menyisipkan
suatu identifikasi antara en-soi (Ada-pada-dirinya) dan pour-soi
(kesadaran kita).
Mungkinkah kehidupan
manusia tanpa Tuhan? Apakah hidup
manusia
masih mempunyai makna? Secara obyektif kehidupan kita memang tidak
mempunyai makna sedikitpun dan absurd sama sekali. Kita tidak mempunyai
alasan untuk berada.
Manusia
merupakan une pasion inutile, suatu gairah yang tidak berguna. Namun
kita bisa memberi makna kepada kehidupan kita dan dengan itu kehidupan
manusiawi sebetulnya baru menjadi mungkin. Jadi seorang
manusia
dapat memberi makna kepada keberadaannya dengan merealisasikan
kemungkinan-kemungkinan yang ada, dengan merancang dirinya. Sartre
pernah menyebut orang lain “neraka”, tetapi kemudian ia menginginkan
suatu ikatan dan ia menemukan orang lain sebagai syarat untuk
eksistensinya sendiri. Untuk memperoleh kebenaran tentang diri saya
sendiri, saya memerlukan orang lain. Jadi Sartre yang sebagai atheis
ingin menciptakan suatu way of life yang baru, yaitu semacam moral
manusiawi yang baru. Karena saya terikat dengan orang lain, maka
kebebasan saya harus memperhitungkan juga kebebasan orang lain itu. Saya
tidak boleh membuat kebebasan saya menjadi tujuan tanpa membuat hal
yang sama dengan kebebasan orang lain. Setelah semua
manusia mati, seluruh sejarah umat
manusia dapat disingkatkan dengan mengatakan, “begitulah
manusia“. Akan tetapi, siapakah yang dapat mengetahui serta mengatakan hal itu karena tidak ada lagi
manusia? Selama masih ada
manusia hidup, selalu terlalu pagi untuk mengatakan “begitulah
manusia“. Bagi
manusia individu, kemungkinan ultimate adalah kematian, tetapi kemungkinan ultimate seluruh umat
manusia tidak kita ketahui.
RASUL PAULUS
Kita
akan mengkonsentrasikan pandangan Paulus, khususnya dalam suratnya
kepada jemaat di Roma (pasal 12:1-2). Di sini Paulus mengaitkan tubuh
(sebagai persembahan yang hidup kepada Allah), keberbedaan kita dengan
dunia, pembaharuan budi dan mengetahui kehendak Allah (yang baik dan
sempurna).
· Berbeda dengan Plato dan Descartes yang cenderung
melihat tubuh sebagai penjara jiwa, yang seringkali menghalangi akal
sehat yang seharusnya memimpin, berbeda juga dengan Marcel yang
cenderung memberhalakan tubuh sebagai “alat absolut” yang tidak
dijadikan oleh sesuatu apapun yang lain, maka Paulus menasihatkan kita
untuk mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup kepada Allah.
Di sini kita melihat pandangan yang positif tentang tubuh (bukan
sesuatu yang jahat), sekaligus dilarang untuk memberhalakannya, karena
Allah sebagai Pencipta tubuh kita berhak untuk memakainya, bahkan
“mempunyainya” sebagai “alat” di tangan-Nya.
· Berbeda dengan
Marcel yang mengatakan bahwa kita seharusnya terbuka terhadap setiap
“message” dari luar yang diterima (dirasakan) oleh tubuh, terpengaruhi
oleh benda-benda dlsb, Paulus mengatakan agar kita tidak menjadi serupa
dengan dunia ini. Permasalahannya di sini bukanlah bahwa kita harus
memiliki satu sikap eksistensial berani ditransformasi oleh segala
sesuatu “yang lain”, melainkan pertanyaan “apa yang mentransformasi
kita?” Alkitab mengatakan bahwa transformasi itu terjadi dalam “pikiran”
(mind) yang mengenal kehendak Allah. Transformasi pikiran inilah
sebenarnya yang dikejar dan didambakan oleh Plato dan yang disebutnya
sebagai “kontemplasi akan yang ideal dan yang ilahi”. Alkitab tidak
pernah mengajarkan agar kita memberikan diri untuk ditransformasi oleh
apa saja (asal bersedia ditransformasi), melainkan bahwa yang
mentransformasi kita adalah firman Tuhan. Transformasi yang dikerjakan
oleh firman Tuhan membuat kita semakin mengerti dan mengenal kehendak
Allah. Di sini kita melihat bahwa Alkitab menghendaki pengertian pikiran
kita (understanding of our mind) terus-menerus disempurnakan, sehingga
menjadi orang kristen yang berkenan kepada Allah tidak dapat dipisahkan
dari mengerti dan memikirkan apa yang kita percaya karena di situlah
transformasi itu terjadi. Sebagaimana dikatakan oleh John Piper, orang
kristen seharusnya menjadi seseorang yang memiliki “a mind in love with
God”. Mind corresponds to the understanding of the truth of God’s
perfections. Love corresponds to the delight in the worth and beauty of
those perfections. God is glorified both by being understood and by
being delighted in. He is not glorified so much by one brand of
evangelicals who divorce delight from understanding. And he is not
glorified so much by another branch of evangelicals who divorce
understanding from delight (John Piper, God’s Passion for His Glory.
Wheaton: Crossway Books, 1998, p.82).
· Plato mengatakan bahwa kemungkinan dan makna ultimate keberadaan
manusia
mula-mula terletak dalam kehidupan yang berkaitan erat dengan yang
baik, yang benar, dan yang indah. Paulus mengatakan bahwa mengetahui dan
dapat membedakan kehendak Allah adalah apa yang baik, yang berkenan
kepada Allah dan yang sempurna. Plato secara samar-samar memiliki
pengertian tentang makna ultimate keberadaan
manusia,
namun Pauluslah yang dipercayakan Tuhan untuk menyatakan apa yang baik
itu, yang benar, yang indah, yang berkenan kepada Allah dan yang
sempurna yaitu mengetahui kehendak Allah. Dengan mengetahui kehendak
Allah sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya
manusia menemukan makna ultimate keberadaan dirinya.