CIRI CIRI DEMAM BERDARAH DENGUE HINGGA DENGUE SHOCK SYNDROME
DEMAM BERDARAH DENGUE
CIRI CIRI DEMAM BERDARAH DENGUE HINGGA DENGUE SHOCK SYNDROME
Oleh : ilman susilo, S, Kep
Penderita yang terinveksi virus dengue
dapat berupa gejala demam biasa yang hanya berlangsung satu hari kemudian
sembuh. Serangan demam semacam ini tidak begitu membahayakan karena relative
mudah tertangani. Kondisi yang lain yaitu pada tahap demam dengue (DD), keadaan
penderita dapat berupa akut dengan gejala demam ( seringkali muncul secara
tiba- tiba) sakit kepala hebat ( seringkali di gambarkan sebagai sakit di
belakang mata), mialgia (nyeri otot) dan atralgia ( nyeri persendian), serta
mual maupun muntah, terjadi ruam ruam di kulit, munculnya mnifestasi perdarahan
kulit, gusi, hidung, saluran pencernaan bahkan air seni mengandung darah.
Keluhan yang mungkin juga terjadi pada penderita ini dapat berupa gatal- gatal, serta gangguan pengecapan ( lidah terasa agak pahit). Kemungkinan yang lain dapat pula terjadi berupa penurunan tingkat kesadaran ( linglung atau koma), kejang bahkan sampai kea rah kelumpuhan. Sebagian penderita ada pula yang kemudian memasuki fase DBD.
Pada beberapa penderita serangan DBD keadaan yang paling mencolok adalah adanya kebocoran plasma pada pembuluh darah kapiler. Ada beberapa criteria secara klinis berdasarkan WHO untuk menegakkan diagnose DBD ini, yaitu adanya demam akut, gejala pendarahan, gangguan peredaran darah, pembesaran hati, penurunan jumlah trombosit, kebocoran plasma yang dapat terlihat dari peningkatan hematokrit, protein albumin rendah, terjadi efusi ( keluarnya cairan ke dalam rongga tubuh)
Tahap berikutnya pada serangan penyakit virus dengue ini dapatt meningkat ke fase dengue shock syndrome ( DSS). Sekitar 3 sampai 7 hari setelah demam menyerang, ada kondisi suhu tubuh penderita turun. Keadaan ini bukan pertanda penderita sembuh, melainkan justru merupakan gejala penderita jatuh ke dalam kondisi syok yang di kenal dengan istilah DSS. Penderita dalam fase ini jika tidak tertolong akan meninggal dalam waktu 12 sampai 24 jam setelah serangan.
Gejala yang muncul pada fase DSS ini berupa denyut nadi melemah tapi frekuensi cepat, kulit semakin dingin, lembab karena sebelumnya keringat banyak keluar, oleh karena cairan semakin banyak keluar muncul sianosis ( warna kulit kebiruan ) di sekitar mulut akibat suplai oksigen rendah. Tanda lainnya berupa tekanan darah yang menurun drastis serta rasa gelisah.
Keluhan yang mungkin juga terjadi pada penderita ini dapat berupa gatal- gatal, serta gangguan pengecapan ( lidah terasa agak pahit). Kemungkinan yang lain dapat pula terjadi berupa penurunan tingkat kesadaran ( linglung atau koma), kejang bahkan sampai kea rah kelumpuhan. Sebagian penderita ada pula yang kemudian memasuki fase DBD.
Pada beberapa penderita serangan DBD keadaan yang paling mencolok adalah adanya kebocoran plasma pada pembuluh darah kapiler. Ada beberapa criteria secara klinis berdasarkan WHO untuk menegakkan diagnose DBD ini, yaitu adanya demam akut, gejala pendarahan, gangguan peredaran darah, pembesaran hati, penurunan jumlah trombosit, kebocoran plasma yang dapat terlihat dari peningkatan hematokrit, protein albumin rendah, terjadi efusi ( keluarnya cairan ke dalam rongga tubuh)
Tahap berikutnya pada serangan penyakit virus dengue ini dapatt meningkat ke fase dengue shock syndrome ( DSS). Sekitar 3 sampai 7 hari setelah demam menyerang, ada kondisi suhu tubuh penderita turun. Keadaan ini bukan pertanda penderita sembuh, melainkan justru merupakan gejala penderita jatuh ke dalam kondisi syok yang di kenal dengan istilah DSS. Penderita dalam fase ini jika tidak tertolong akan meninggal dalam waktu 12 sampai 24 jam setelah serangan.
Gejala yang muncul pada fase DSS ini berupa denyut nadi melemah tapi frekuensi cepat, kulit semakin dingin, lembab karena sebelumnya keringat banyak keluar, oleh karena cairan semakin banyak keluar muncul sianosis ( warna kulit kebiruan ) di sekitar mulut akibat suplai oksigen rendah. Tanda lainnya berupa tekanan darah yang menurun drastis serta rasa gelisah.
Ditulis oleh sketsa2 di/pada Februari 2, 2008
DBD
Adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
Virus.
Ada 4 jenis yaitu : - Virus Serotype 1
- Virus Serotype 2
- Virus Serotype 3
- Virus Serotype 4
Ditularkan melalui nyamuk sebagai VEKTOR
yaitu AEDES AEGYPTI
Yang merupakan sekelompk nyamuk yang senang
dengan tempat-tempat bersih,
Seperti : Air bak mandi, air dalam sangkar
burung dll
Semakin bersih air itu akan senang
ditempati oleh nyamuk tersebut.
Sedangkan tempat – tempat kotor akan
langsung dihindari oleh nyamuk jenis ini
GEJALA :
Dari yang paling
ringan sampai berat :
- Panas sedang sampai tinggi yang terus menerus selama 2 – 7 hari
- Nyeri ulu hati
- Manifestasi perdarahan : perdarahan dibawah kulit, mimisen, muntah darah dll
- Anak bisa lesu bahkan sampai SYOK
- Pada anak yang lebih besar biasanya ditambah dengan : Demam tinggi mendadak, nyeri pada anggota badan ( kepala, bola mata, punggung dan sendi ) dan timbul ruam pada kulit.
- Banyak minum jika seorang anak mulai terasa demam, bisa dengan air putih, susu atau yang lain 1.5 s/d 2 liter tiap hari
- Anak diberi obat turun panas : Parasetamol Sirup ataupun tablet
- Segera bawa anak ke dokter , karena jika terlambat akibatnya bisa sangat FATAL
Mulai dari yang ringan sampai dengan yg
berat, yaitu Syok atau disebut DENGUE SYOK SYNDROME, dimana semua cairan akan
keluar melalui kapiler darah, yang akan diikuti dg kematian si pasien. Kalau
sudah sampai ke tahap ini akan sangat sulit untuk pengobatannya
PENCEGAHAN :Kita harus mencegah atau memotong SIKLUS NYAMUK yaitu dengan 3M
1. MENGURAS 2. MENGUBUR3. MENUTUPBUKAN DENGAN PENYEMPROTANUntuk penyemprotan hanya akan membunuh nyamuk dewasa, sedangkan telur nyamuk maupun larvanya tidak akan mati. Padahal usia nyamuk dewasa hanya berkisar 2-4 hari, sedangkan waktu mulai dari telur ke nyamuk dewasa hanya sekitar 7 hari UNTUK ITU APABILA ANDA MENJUMPAI GEJALA=2 SEPERTI DIATAS, MAKA :- Pertolongan pertama akan sangat membantu
- Bawa segera ke Dokter atau Rumah Sakit
Satu Tanggapan ke “DEMAM BERDARAH DENGUE”
sketsa2 berkata
Tolong dibenahi dunk, biar gak
acak-acakan!!
DENGUE, DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER,DENGUE
SHOCK SYNDROME Dengue, demam berdarah dengue, dengue SINDROM SHOCK
P Amin*, Sweety Bhandare**, Ajay Srivastava*** P Amin *, Bhandare sweety **, Srivastava Ajay ***
*Consultant BHIMS, **Resident, Cook Country Hosp. BHIMS Konsultan *, ** Residen, Cook Hosp Negara. Chicago. ***Resident, Bombay Hospital, Mumbai. Chicago. *** Resident, Rumah Sakit Bombay, Mumbai.
P Amin*, Sweety Bhandare**, Ajay Srivastava*** P Amin *, Bhandare sweety **, Srivastava Ajay ***
*Consultant BHIMS, **Resident, Cook Country Hosp. BHIMS Konsultan *, ** Residen, Cook Hosp Negara. Chicago. ***Resident, Bombay Hospital, Mumbai. Chicago. *** Resident, Rumah Sakit Bombay, Mumbai.
INTRODUCTION PENDAHULUAN
Dengue is an acute mosquito-transmitted viral disease characterized by fever, headache, muscle and joint pain, rash, nausea and vomiting. Dengue adalah penyakit-menular virus nyamuk akut ditandai dengan demam, sakit kepala, otot dan sakit sendi, ruam, mual dan muntah. Some infections result in dengue haemorrhagic fever (DHF), a syndrome that in its most severe form can threaten the patient's life, primarily through increased vascular permeability and shock. Beberapa infeksi menyebabkan demam berdarah dengue (DBD), sindrom yang paling parah dalam bentuk yang dapat mengancam hidup pasien, terutama melalui peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan shock. The case fatality in patients with dengue shock syndrome can be as high as 44%.[ 1 ] The CFR pada pasien dengan sindrom syok dengue dapat setinggi 44%. [ 1 ]
EPIDEMIOLOGY Epidemiologi
Epidemics of an illness compatible with DF (dengue fever) were first reported in medical literature in 1779 in Batavia (present-day Jakarta) and in 1780 in Philadelphia. Wabah penyakit yang kompatibel dengan DF (demam berdarah) pertama kali dilaporkan di literatur medis pada tahun 1779 di Batavia (Jakarta hari sekarang) dan tahun 1780 di Philadelphia. Since then, epidemics have been reported in Calcutta (1824, 1853, 1871 and 1905), the West Indies (1827), Hong Kong (1901), Greece (1927-1928), Australia (1925-1926, 1942), the United States (1922), and Japan (1942-1945).2 Sejak itu, epidemi telah dilaporkan di Calcutta (1824, 1853, 1871 dan 1905), Hindia Barat (1827), Hong Kong (1901), Yunani (1927-1928), Australia (1925-1926, 1942), Amerika Serikat (1922), dan Jepang (1942-1945) .2
Dengue is predominant in tropical areas mostly in South-east Asia, Africa and Southern parts of the US (Fig. 1). Dengue adalah dominan di daerah tropis terutama di-timur Asia Selatan, Afrika dan bagian selatan Amerika Serikat (Gbr. 1). The first large epidemic of DHF (dengue haemorrhagic fever) occurred in Cuba in 1981 with 24,000 cases of DHF and 10,000 cases of DSS (dengue shock syndrome). Epidemi besar pertama dari DBD (demam berdarah dengue) terjadi di Kuba pada tahun 1981 dengan 24.000 kasus DBD dan 10.000 kasus DSS (dengue shock syndrome). In 1986 and 1987 massive outbreaks of dengue were reported in Brazil. Pada tahun 1986 dan 1987 wabah besar demam berdarah dilaporkan di Brasil. In 1988, an epidemic of DF was reported at 1700m above sea level in Guerrero State, Mexico3 and in 1990 almost one-fourth of 3,00,000 people living in lquitos, Peru contracted DF.4 Pada tahun 1988, epidemi dilaporkan di DF 1700m di atas permukaan laut di Guerrero Negara, Mexico3 dan pada tahun 1990 hampir seperempat dari 3,00,000 orang yang tinggal di lquitos, Peru dikontrak DF.4
|
Fig 1 Gambar 1
|
TRANSMISSION TRANSMISI
The known natural hosts for dengue viruses are man, lower primates, and mosquitoes. The arthropod vectors are members of the genus Aedes that thrive both in urban and rural areas. Penghuni alami yang dikenal untuk virus dengue adalah manusia, primata yang lebih rendah, dan nyamuk. The vektor arthropoda adalah anggota dari genus Aedes yang berkembang baik di daerah perkotaan dan pedesaan. [ 5 - 7 ] The predominant species implicated in disease transmission are A. aegypti and A. albopictus. [ 5 - 7 ] Spesies-spesies yang dominan terlibat dalam transmisi penyakit A. aegypti dan A. albopictus. [ 8-10 ] [ 10/08 ]
Aedes aegypti, considered the most effective vector, originated in the forests of Africa and is found in Between 30 degrees north and 20 degrees south latitude.[ 11 - 14 ] The female mosquito feeds during the daytime, with peak activity in the mornings and late afternoons.[ 15 , 16 ] After feeding on a viraemic individual, the mosquito may transmit the virus directly by change of host, or after 8 to 10 days during the time the virus multiplies in the salivary glands.[ 17 ] The infected mosquito then remains capable of transmission for its entire life.[ 15 ] Transovarian transmission of dengue viruses has been documented.[ 18,19 ] and A. aegypti eggs are highly resistant to desiccation and can survive for extended periods.[ 20 ] Aedes aegypti, vektor dianggap paling efektif, berasal dari hutan di Afrika dan ditemukan di antara 30 derajat utara dan 20 derajat lintang selatan [. 11 - 14 ] Nyamuk betina feed pada siang hari, dengan aktivitas puncak di pagi hari dan akhir sore [. 15 , 16 ] Setelah makan pada individu viraemic, nyamuk dapat menularkan virus secara langsung oleh perubahan host, atau setelah 8 sampai 10 hari selama waktu virus berkembang biak dalam kelenjar liur. [ 17 ] The nyamuk yang terinfeksi kemudian tetap mampu transmisi untuk kehidupan seluruh [. 15 ] Transovarian transmisi virus dengue telah didokumentasikan. [ 18,19 ] dan telur A. aegypti sangat resisten terhadap pengeringan dan dapat bertahan untuk waktu yang lama. [ 20 ]
Aedes albopictus is indigenous to Southeast Asia, feeds during the day, and has been shown to have a higher biting frequency than A. aegypti.[ 21 ] Recently, it has been introduced into Nigeria, Europe, and the United States, apparently by shipments of used automobile tires. Aedes albopictus adalah adat ke Asia Tenggara, feed siang hari, dan telah terbukti memiliki frekuensi yang lebih tinggi dari aegypti menggigit A. [. 21 ] Baru-baru ini, telah diperkenalkan ke Nigeria, Eropa, dan Amerika Serikat, tampaknya oleh pengiriman ban mobil digunakan. In the US Aedes albopictus has spread as far north as Chicago.[ 22 - 24 ] With the spread of adaptable cold-resistant strains, the chances for a major outbreak in Europe have increased. Dalam Aedes albopictus AS telah menyebar sampai utara Chicago. [ 22 - 24 ] Dengan penyebaran strain tahan dingin beradaptasi, kemungkinan untuk wabah besar di Eropa telah meningkat.
THE VIRUS ATAS VIRUS
Dengue viruses are members of the family Flaviviridae, which include the Japanese encephalitis virus and the yellow fever virus.[ 25 ] Four dengue virus serotypes [ 1,2, 3 ] and [ 4 ] and various biotypes can be differentiated. virus Dengue adalah anggota keluarga Flaviviridae, yang meliputi virus ensefalitis Jepang dan virus demam kuning. [ 25 ] Empat virus dengue serotipe [ 1,2, 3 ] dan [ 4 ] dan berbagai biotipe dapat dibedakan. The four serotypes are closely related antigenically. Keempat serotipe antigenically erat terkait.
Infection with one serotype provides life-long immunity to that virus but not to the others. Infeksi dengan salah satu serotipe-lama menyediakan kekebalan terhadap virus yang hidup tapi tidak untuk yang lain.
Mature Dengue virus consists of a single stranded ribonucleic acid genome (ssRNA), which has a positive polarity. Mature virus dengue terdiri dari asam ribonukleat terdampar genom tunggal (ssRNA), yang memiliki polaritas positif. The genome is surrounded by an icosahedral nucleocapsid with a diameter of 30 nm. genom ini dikelilingi oleh nukleokapsid ikosahedral dengan diameter 30 nm. The nucleocapsid is covered by a lipid envelope of 10 nm thickness derived from host cell membranes and contains the envelope and membrane proteins.[ 25 ] nukleokapsid ini dijamin dengan sebuah amplop lipid ketebalan 10 nm berasal dari selaput sel inang dan berisi amplop dan protein membran. [ 25 ]
The viral genome is 11kb. Genom virus 11kb. The 5'end of the RNA has a type I cap structure but lacks a poly A tail at the 3' end.[ 26-28 ] It contains a single open reading frame of about 10,000 nucleotides encoding three structural and seven nonstructural proteins. The 5'end dari RNA memiliki struktur tipe saya tutup tetapi tidak memiliki ekor poli A pada 3 'akhir [. 26-28 ] ini berisi pembacaan frame tunggal terbuka sekitar 10.000 nukleotida pengkodean tiga struktural dan tujuh protein nonstruktural. The proteins are synthesized as a polyprotein of about 3000 amino acids that is processed cotranslationally and posttranslationally by viral and host proteases.[ 29 , 38 ] Protein disintesis sebagai polyprotein dari sekitar 3000 asam amino yang diproses cotranslationally dan posttranslationally oleh virus dan protease host. [ 29 , 38 ]
The structural proteins include a capsid protein rich in arginine and lysine residues and a nonglycosylated prM protein. Protein struktural mencakup protein kapsid kaya dan residu lisin dan arginin protein PRM nonglycosylated. The major structural envelope protein is involved in the main biologic functions of the virus particle such as cell tropism, acid catalyzed membrane fusion and the induction of haemagglutination-inhibiting, neutralizing, and protective antibodies. Amplop protein struktural utama yang terlibat dalam fungsi-fungsi biologis utama partikel virus seperti tropisme sel, asam dikatalisasi fusi membran dan induksi haemagglutination-menghambat, menetralkan, dan antibodi protektif.
The non-structural proteins are addressed as NS1-7. The protein non-struktural yang ditujukan sebagai NS1-7.
NS1, a glycoprotein is detected in high titers in patients with secondary dengue infections but its function is unknown.[ 39 ] NS1, glikoprotein yang terdeteksi dalam titer tinggi pada pasien dengan infeksi dengue sekunder tapi fungsinya tidak diketahui. [ 39 ]
NS2 region, codes for two proteins (NS2A and NS2B), which are thought to be implicated in polyprotein processing. wilayah NS2, kode untuk dua protein (NS2A dan NS2B), yang dianggap terlibat dalam pengolahan polyprotein.
NS3 is the viral proteinase that functions that functions in the cytosol.[ 40 ] NS3 adalah proteinase virus yang berfungsi yang berfungsi dalam sitosol. [ 40 ]
NS4 region codes for two small hydrophobic proteins that seem to be involved in the establishment of the membrane bound RNA replication complex. NS4 kode wilayah selama dua protein hidrofobik kecil yang tampaknya terlibat dalam pembentukan membran terikat kompleks replikasi RNA.
NS5 codes for a protein with a molecular weight of 105,000 and is the most conserved flavivirus protein. NS5 kode untuk protein dengan berat molekul 105.000 dan merupakan yang paling kekal Flavivirus protein. This protein is believed to be the virus encoded RNA dependent RNA polymerase.[ 41 ] protein ini diyakini virus encoded RNA RNA polimerase bergantung. [ 41 ]
NS6 and NS7 function yet to be found. NS6 dan fungsi NS7 belum ditemukan.
CLINICAL FEATURES CLINICAL FEATURES
The clinical features of dengue virus infection vary from an asymptomatic infection to a febrile flu like infection (DF-dengue fever) to more severe form like DHF (dengue haemorrhagic fever), which can lead to DSS (dengue shock syndrome).[ 42,43 ] The clinical variability is poorly understood and seems to be related to the age, sex and the immunologic and nutritional status of the patient. Fitur klinis infeksi virus dengue bervariasi dari infeksi asimtomatik ke flu demam seperti infeksi (demam berdarah-DF) untuk membentuk yang lebih berat seperti DBD (demam berdarah dengue), yang dapat menyebabkan DSS (dengue shock syndrome). [ 42, 43 ] variabilitas klinis yang kurang dipahami dan tampaknya berhubungan dengan usia, jenis kelamin dan kekebalan dan status gizi pasien. DHF is most likely to develop in immune-competent, well-nourished girls between the ages of 7 and 12 years.[ 44 ] DHF is most common in children between ages 5 and 15 years. DBD kemungkinan besar untuk dikembangkan di-kompeten, cukup gizi gadis kekebalan antara usia 7 dan 12 tahun [. 44 ] DBD adalah yang paling umum pada anak-anak antara umur 5 sampai 15 tahun.
DENGUE FEVER (DF) Demam Berdarah (DF)
The incubation period of dengue fever after the mosquito bite is usually 4 to 7 day (range is 3-14 days). Masa inkubasi demam berdarah setelah gigitan nyamuk biasanya 4-7 hari (rentang 3-14 hari). DF may manifest with fever and a discrete macular or maculopapular rash. DF dapat bermanifestasi dengan demam dan ruam makular atau maculopapular diskrit. In this situation the clinical differentiation from other viral ill nesses may not be possible, recovery is rapid and the need for supportive treatment is minimal.[ 45 ] Dalam situasi ini diferensiasi klinis dari lain virus nesses sakit mungkin tidak dapat dilakukan, pemulihan yang cepat dan kebutuhan untuk mendukung perawatan minimal. [ 45 ]
The fever in severe cases can rise up to 39 degrees Celsius or higher. Demam pada kasus yang berat bisa naik sampai 39 derajat Celcius atau lebih tinggi. It persists for 5 to 6 days. Hal ini berlangsung selama 5 sampai 6 hari. Fever is characteristically biphasic and returns to almost normal in the middle of the febrile period giving rise to the saddleback temperature chart. Demam bersifat bifase dan kembali ke hampir normal di tengah-tengah periode demam menimbulkan grafik temperatur Saddleback. It reaches its highest level during the last 24 hours before abatement. Symptoms include headache, usually frontal, and retroorbital pain, particularly when pressure is applied to the eyes. Mencapai tingkat tertinggi selama 24 jam terakhir sebelum pengurangan. Gejala termasuk sakit kepala, biasanya frontal, dan nyeri retroorbital, terutama ketika tekanan diterapkan pada mata. ("Fire is coming out of my eyes"). Arthralgias, myalgias and a maculopapular rash may appear at the onset. ("Api adalah keluar dari mata saya"),. Arthralgias mialgia dan ruam maculopapular dapat muncul mula-mula. Some patients report severe backache (back-break fever), sore throat, or abdominal pain, which can be severe enough to be confused with appendicitis. Beberapa pasien melaporkan sakit punggung parah (-istirahat demam belakang), sakit tenggorokan, atau sakit perut, yang dapat cukup parah untuk menjadi bingung dengan radang usus buntu. The febrile period usually lasts up to 6 days during which time the rash may become diffusely erythematous with clear areas scattered in between, the so-called "islands of white in sea of red" (Fig. 2). Periode demam biasanya berlangsung sampai 6 hari selama waktu yang ruam dapat menjadi diffusely erythematous dengan daerah yang jelas tersebar di antara, yang disebut "sehingga pulau-pulau putih di laut merah" (Gbr. 2). These patients are lethargic with accompanying anorexia and nausea. Pasien-pasien ini lesu dengan anoreksia atas dan mual. Hepatomegaly can be present although splenomegaly is uncommon. Patients can have nausea and vomiting. Hepatomegali bisa hadir walaupun splenomegaly jarang muntah. Pasien dapat mengalami mual dan. Thrombocytopenia is characteristic with and serum hepatic enzymes may be elevated. Trombositopenia adalah karakteristik dengan enzim hati dan serum dapat meningkat.
|
Fig 2 Gambar 2
|
DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) Demam Berdarah Dengue (DBD)
The incubation period of DHF is unknown but is probably similar to that of DF. Periode inkubasi DBD tidak diketahui, tetapi mungkin mirip dengan DF. DHF commences acutely with high fever and many of the symptoms of DF. However, drowsiness and lethargy are more marked. DBD dimulai akut dengan demam tinggi dan banyak gejala DF. Namun, kantuk dan kelesuan lebih ditandai. There is increased vascular permeability, and abnormal haemostasis that can lead to hypovolaemia and hypotension and in severe cases, result in hypovolaemic shock, complicated by severe internal bleeding. Ada peningkatan permeabilitas pembuluh darah, dan haemostasis abnormal yang dapat menyebabkan hipovolemia dan hipotensi dan pada kasus yang berat, mengakibatkan shock hipovolemik, rumit oleh pendarahan internal berat. The haemorrhagic manifestations appear usually by 3rd day and consist of scattered petechiae over the trunk, limbs and axillae. Manifestasi perdarahan muncul biasanya oleh 3 hari dan terdiri dari petechiae tersebar di bagasi, tungkai dan aksila. The petechiae are associated with a positive tourniquet test result. petechiae yang berhubungan dengan hasil tes tourniquet positif. Bleeding at venepuncture sites is the rule and there may be haemorrhage from GI tract, nose and gums. After 2-7 days as fever begins to subside, signs of circulatory insufficiency can appear and pt is restless and sweaty, with cold extremities. Pendarahan di situs venepuncture adalah aturan dan mungkin ada perdarahan dari saluran pencernaan, hidung dan gusi. Setelah 2-7 hari demam mulai mereda, tanda-tanda insufisiensi sirkulasi dapat muncul dan pt gelisah dan berkeringat, dengan kaki dingin.
Transudate leaking due to excessive capillary permeability causes pleural effusion characteristically on the right side and abdominal ascites may be noted. Transudate bocor karena permeabilitas kapiler yang berlebihan menyebabkan efusi pleura bersifat di sisi kanan perut dan ascites dapat dicatat. In addition to the plasma leakage, DIC is present. Selain kebocoran plasma, DIC hadir. With appropriate treatment, this phase usually lasts [ 24 - 48 ] hours.[ 46-47 ] Neurologic manifestations indicate infectious encephalitis and the virus is isolated in the CSF and brain tissue. Dengan perawatan yang tepat, fase ini biasanya berlangsung [ 24 - 48 ] jam. [ 46-47 ] neurologis menunjukkan manifestasi ensefalitis virus menular dan terisolasi di CSF dan jaringan otak. Laboratory investigations in DHF reveal thrombocytopenia that may reach levels of 20,000 platelets/cubic mm. Laboratorium investigasi DBD mengungkapkan trombositopenia yang dapat mencapai tingkat 20.000 trombosit / mm kubik. Haemoconcentration with haematocrit rise of 20% or more, hypoalbuminaemia, hypovolaemia and moderately elevated serum aminotransferases and blood urea nitrogen levels were documented. Partial thromboplastin time and thrombin time may be prolonged.[ 47 ] Hypofibrinogenaemia and complement depletion correlate with severity of the disease (Fig. 3). Haemoconcentration dengan kenaikan hematokrit 20% atau lebih, hypoalbuminaemia, hipovolemia dan agak ditinggikan aminotransferases serum dan kadar nitrogen urea dan didokumentasikan. Tromboplastin Partial waktu trombin waktu mungkin lama. [ 47 ] Hypofibrinogenaemia dan melengkapi penipisan berkorelasi dengan keparahan penyakit ( Gambar). 3.
|
Fig 3 Gambar 3
|
DENGUE SHOCK SYNDROME (DSS) SINDROM SHOCK Dengue (DSS)
DSS is defined as DHF with signs of circulatory failure, including narrow pulse pressure (â 20 mm Hg), or frank shock. DSS didefinisikan sebagai DBD dengan tanda-tanda kegagalan peredaran darah, termasuk tekanan nadi sempit (â 20 mm Hg), atau shock jujur. The liver may be palpable and tender; and the liver enzymes are mildly elevated but jaundice is rare.[ 48,49 ] The four warning signs for impending shock are intense, sustained abdominal pain, persistent vomiting, restlessness or lethargy, and a sudden change from fever to hypothermia with sweating and prostration. Hati mungkin gamblang dan lelang; dan enzim hati yang sedikit ditinggikan namun penyakit kuning jarang [. 48,49 ] Tanda-tanda peringatan empat untuk kejutan yang akan datang yang intens, terus menerus sakit perut, muntah terus-menerus, kegelisahan atau kelesuan, dan perubahan mendadak dari demam ke hipotermia dengan berkeringat dan sujud. The development of any of these signs or suggestion of hypotension is indicative of hospital management to prevent shock. Perkembangan tanda-tanda atau saran dari hipotensi adalah indikasi manajemen rumah sakit untuk mencegah sengatan. [ 50 ] The patient may recover rapidly after volume replacement but shock may recur during the period of excessive capillary permeability. [ 50 ] Pasien dapat sembuh cepat setelah penggantian volume tapi shock bisa kambuh selama periode permeabilitas kapiler yang berlebihan. The case fatality rate in DHF can be as low as 0.2% if detected early and treated. The Tingkat fatalitas kasus di DBD bisa serendah 0,2% jika terdeteksi dini dan diobati. Once shock has set in, the fatality rate may be as high as 12% to 44%. Setelah shock telah menetapkan dalam, tingkat kematian dapat mencapai 12% sampai 44%. [ 51,52 ] [ 51,52 ]
PATHOGENESIS Patogenesis
DHF is almost always found in individuals who had a previous experience with at least one of the four serotypes of dengue virus. DBD hampir selalu ditemukan pada orang yang memiliki pengalaman sebelumnya dengan setidaknya salah satu dari empat serotipe virus dengue. This leads to the hypothesis of heterotypic antibodies from a previous dengue infection promoting the viral replication within the mononuclear leucocytes-the phenomenon of antibody-dependent enhancement.[ 53 ] Furthermore, the immunologic processes aimed at eliminating dengue virus infected cells can result in release of histamine and substances with vasoactive and procoagulant properties, the release of interferon-gamma, and the activation of complement.[ 54 , 56 ] Ini mengarah pada hipotesis antibodi heterotypic dari infeksi dengue sebelumnya mempromosikan replikasi virus dalam-dalam leukosit mononuklear fenomena-tergantung dari peningkatan antibodi [. 53 ] Selanjutnya, kekebalan proses yang bertujuan untuk menghilangkan sel yang terinfeksi virus dengue dapat mengakibatkan pelepasan histamin dan zat-zat dengan sifat dan procoagulant vasoaktif, pelepasan interferon-gamma, dan aktivasi komplemen [. 54 , 56 ]
DHF results from an infection by a more virulent biotype of the virus or even from unfavourable host factors such as concomitant bacterial infections. DBD hasil dari infeksi oleh biotipe yang lebih ganas dari virus atau bahkan dari faktor tuan rumah yang tidak menguntungkan seperti infeksi bakteri secara bersamaan. DHF is known to be more common in Southeast Asia compared to Africa and America. Black individuals are relatively resistant to DHF/DSS due to a speculated "resistant gene". DBD dikenal lebih umum di Asia Tenggara dibandingkan dengan Afrika dan Amerika individu. Black relatif tahan terhadap DBD / DSS karena tahan "gen berspekulasi".
The cause of bleeding in DHF appears to be due to thrombocytopenia, platelet dysfunction, disseminated intravascular coagulation and microvascular injury. Penyebab perdarahan pada DBD tampaknya karena trombositopenia, platelet disfungsi, disebarluaskan koagulasi intravaskuler dan cedera mikrovaskuler.
DIAGNOSIS DIAGNOSIS
The clinical criteria for diagnosis are as follows: (1) fever; (2) haemorrhagic manifestations, including at least a positive tourniquet test result and a major or minor bleeding phenomenon; (3) hepatic enlargement; (4) shock (high pulse rate and narrowing of the pulse pressure to 20 mmHg or less, or hypotension). The laboratory criteria include (5) thrombocytopenia (â 100,000/mm3), and (6) haemoconcentration (haematocrit increase ô 20%). Kriteria klinis untuk diagnosis adalah sebagai berikut: (1) demam; (2) manifestasi perdarahan, termasuk setidaknya hasil tes tourniquet positif dan pendarahan besar atau kecil fenomena; (3) pembesaran hati; (4) syok (denyut nadi tinggi dan penyempitan tekanan pulsa sampai 20 mmHg atau kurang, atau hipotensi). Kriteria laboratorium termasuk (5) trombositopenia (â 100.000 / mm3), dan (6) haemoconcentration (hematokrit meningkat 20% Ô). Thrombocytopenia with concurrent high haematocrit levels differentiates DHF from classic DF. Trombositopenia dengan bersamaan tingkat hematokrit tinggi membedakan DBD dari DF klasik.
Currently routine laboratory diagnosis of dengue infections depends on virus isolation or the detection of dengue virus-specific antibodies. Saat ini laboratorium rutin diagnosis infeksi dengue tergantung pada isolasi virus atau deteksi antibodi spesifik virus dengue. The isolation of viruses from clinical specimens can be carried out in cultured mosquito cells, such as AP-61 or C6/36 cells cultures.[ 57-60 ] When dengue virus serotype-specific monoclonal antibodies are used, virus identification by indirect immunofluorescence can be achieved within 2 weeks.[ 61,62 ] The development of mosquito inoculation techniques has not only improved the sensitivity but also reduced the time required for virus isolation and identification. Parenteral inoculation of adult. Isolasi virus dari spesimen klinis dapat dilakukan dalam sel nyamuk berbudaya, seperti AP-61 atau sel C6/36 budaya [. 57-60 ] Ketika dengue virus-antibodi monoklonal spesifik serotipe digunakan, identifikasi virus oleh immunofluorescence tidak langsung dapat dicapai dalam waktu 2 minggu. [ 61,62 ] Perkembangan teknik inokulasi nyamuk tidak hanya meningkatkan sensitivitas, tetapi juga mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk isolasi dan identifikasi virus inokulasi. parenteral dewasa. A. albopictus yields results in 7 days.[ 63,64 ] Virus isolation by intracerebral inoculation of Toxorhychitis splendens mosquito or its fourth instar larvae can even be achieved within 2 to 5 days. A. albopictus memberikan hasil dalam 7 hari. [ 63,64 ] Virus isolasi dengan inokulasi intraserebral dari Toxorhychitis splendens instar nyamuk atau keempat bahkan dapat dicapai dalam waktu 2 sampai 5 hari. [ 65,66 ] [ 65,66 ]
The serologic identification of the various types of dengue virus infection is complicated by the occurrence of cross-reactive antibodies to antigenic determinants shared by all four dengue viruses and other members of the flavivirus family. [ 67 ] The commonly used serologic test is the haemagglutination inhibition test. Identifikasi serologi dari berbagai jenis infeksi virus dengue diperumit oleh terjadinya antibodi reaktif-silang untuk determinan antigenik bersama oleh semua empat virus dengue dan anggota lain dari keluarga Flavivirus. [ 67 ] The serologi uji yang digunakan umumnya adalah inhibisi haemagglutination uji. [ 68 ] In a primary infection dengue haemagglutination inhibition antibody titer is generally less than 1:20 in a sample collected within the first 4 days after the onset of symptoms. [ 68 ] Dalam titer infeksi dengue primer antibodi inhibisi haemagglutination umumnya kurang dari 1:20 dalam sampel dikumpulkan selama 4 hari pertama setelah timbulnya gejala. In the convalescent phase sample (collected 1 to 4 weeks after the onset of symptoms) a fourfold or greater rise in antibody titer is detected, with antibody titer â 1:1280. Pada fase pemulihan sampel (dikumpulkan 1-4 minggu setelah timbulnya gejala) yang empat kali lipat atau lebih kenaikan titer antibodi terdeteksi, dengan titer antibodi â 1:1280. [ 69 ] [ 69 ]
A secondary dengue infection is characterized by the rapid appearance of broadly cross-reactive antibodies. Infeksi dengue sekunder ditandai dengan penampilan cepat luas cross-reaktif antibodi. Haemagglutination inhibition titers of 1:20 in the acute-phase sample rise to ô to 1:2560 in the convalescent phase sample. An antibody titer of ô 1:1280 in the acute-phase sample without a fourfold or greater increase in the second sample also is considered presumptive of recent infection. Haemagglutination inhibisi titer dari 1:20 dalam fase akut sampel untuk naik-o 1:2560 dalam sampel tahap pemulihan. Suatu titer antibodi O 1:1280 dalam fase akut tanpa sampel atau lebih meningkat empat kali lipat dalam contoh kedua juga dianggap dugaan infeksi baru. An improved and less time-consuming method is a capture enzyme-linked immunosorbent assay that can detect specific anti-dengue IgM in a single acute-phase sample.[ 70 ] An dan memakan waktu kurang metode ditingkatkan adalah enzim terkait immunosorbent assay-capture yang dapat mendeteksi anti-dengue IgM spesifik dalam fase akut sampel tunggal. [ 70 ]
Recently commercial kits for the detection of specific IgG as well as IgM antibodies have become available. Baru-baru ini kit komersial untuk mendeteksi IgG spesifik serta antibodi IgM telah tersedia. They are based on a dot enzyme assay or a nitrocellulose membrane-based capture format, respectively, and should be suitable for field research. Mereka didasarkan pada sebuah titik assay enzim atau menangkap berbasis format nitroselulosa membran, masing-masing, dan harus cocok untuk penelitian lapangan.
An alternative to virus isolation is the detection of viral RNA by reverse transcription polymerase chain reaction. Sebuah alternatif untuk isolasi virus adalah deteksi RNA virus dengan reaksi reverse transcription polymerase chain. Reverse transcription polymerase chain reaction is a highly sensitive technique of particular value in the early diagnosis of dengue infection, but at present is only available in research settings. Polymerase chain reaction reverse transkripsi adalah teknik yang sangat sensitif nilai tertentu dalam diagnosis awal infeksi dengue, tetapi saat ini hanya tersedia dalam pengaturan penelitian.
TREATMENT PENGOBATAN
Patients with DF require rest, oral fluids to compensate for losses via diarrhoea or vomiting, analgesics, and antipyretics for high fever (acetaminophen) but not aspirin, so that platelet function will not be impaired. Pasien dengan DF memerlukan istirahat, cairan oral untuk mengkompensasi kerugian melalui diare atau muntah, analgesik, dan antipiretik untuk demam tinggi (acetaminophen) tetapi tidak aspirin, fungsi trombosit sehingga tidak akan terganggu. Steroids in DSS are not helpful.[ 74 ] With the earliest suspicion of threatened severe illness, an intravenous line should be placed so that fluids can be provided. Monitoring of blood pressure, haematocrit, platelet count, haemorrhagic manifestations, urinary output, and level of consciousness is important. Steroid di DSS tidak membantu [. 74 ] Dengan kecurigaan awal penyakit berat mengancam, garis intravena harus ditempatkan sehingga cairan dapat disediakan. Pemantauan tekanan darah, hematokrit, jumlah trombosit, manifestasi perdarahan, output urin, dan tingkat kesadaran adalah penting. Plasma leakage in DHF is very rapid and the haematocrit may continue to rise even while intravenous fluids are being administered; however, the "leaky capillary" period is short and intravenous fluids are usually required for only 1-2 days.[ 52 , 75-77 ] There is great variability from patient to patient, and the physician must adjust treatment using serial haematocrit, blood pressure, and urinary output data.[ 52 , 78 ] Insufficient volume replacement will allow worsening shock, acidosis, and disseminated intravascular coagulation, while fluid overload will produce massive effusions, respiratory compromise, and congestive heart failure. kebocoran plasma pada DBD sangat cepat dan hematokrit dapat terus meningkat bahkan ketika cairan infus diadministrasikan; namun "bocor kapiler" periode pendek dan infus biasanya diperlukan untuk hanya 1-2 hari. [ 52 , 75 - 77 ] Ada keragaman besar dari pasien ke pasien, dan dokter harus menyesuaikan perawatan menggunakan serial hematokrit, tekanan darah, dan data output kemih [. 52 , 78 ] Kurangnya volume pengganti akan memungkinkan memburuk shock, asidosis, dan disebarluaskan koagulasi intravaskuler, sementara overload cairan akan menghasilkan efusi masif, kompromi pernafasan, dan gagal jantung kongestif. Because patients have loss of plasma (through increased vascular permeability into the serous spaces) they must be given isotonic solutions and plasma expanders, such as Ringer's acetate or Ringer's lactate, plasma protein fraction, and Dextran [ 40 ]. The recommended amount of total fluid replacement in 24 h is approximately the volume required for maintenance, plus replacement of 5% of bodyweight deficit, but this volume is not administered uniformly throughout the 24 h. Karena pasien telah kehilangan plasma (melalui permeabilitas pembuluh darah meningkat menjadi ruang serosa) mereka harus diberi solusi isotonik dan expanders plasma, seperti yang asetat Ringer atau's laktat Ringer, fraksi protein plasma, dan dekstran [ 40 ]. Jumlah yang disarankan cairan total penggantian dalam 24 jam adalah kira-kira volume yang dibutuhkan untuk pemeliharaan, ditambah penggantian defisit 5% dari berat badan, tapi buku ini adalah tidak diberikan merata di seluruh h. 24 A bolus of 10-20 ml of an isotonic solution per kg bodyweight is given in case of shock, and repeated every 30 min until circulation improves and urinary output is adequate. Vital signs should be measured every 30-60 min and haematocrit every 2-4 h, then less frequently as the patient's condition stabilizes.[ 52 , 75-77 ] Sebuah bolus 10-20 ml larutan isotonik per kg berat badan diberikan dalam kasus shock, dan diulang setiap menit 30 sampai meningkatkan sirkulasi dan output urin adalah cukup min. Vital tanda harus diukur setiap 30-60 dan hematokrit setiap 2 - 4 jam, kemudian lebih jarang sebagai kondisi pasien stabil [. 52 , 75-77 ]
Placement of a central-venous-pressure line is hazardous in patients with haemorrhagic tendencies but may be necessary, especially when more than 60 ml/kg of fluids has been given without improvement. Penempatan dari tekanan-vena-garis pusat berbahaya pada pasien dengan kecenderungan perdarahan tapi mungkin diperlukan, terutama bila lebih dari 60 ml / kg cairan telah diberikan tanpa perbaikan. An expert in a special care area should insert the line. Seorang ahli dalam bidang perawatan khusus harus memasukkan baris. It is used to estimate filling pressures and to guide further intravenous fluid administration. Hal ini digunakan untuk memperkirakan tekanan pengisian dan untuk membimbing lebih lanjut cairan intravena. An arterial line will help in the assessment of arterial blood gases, acidbase status, coagulation profiles, and electrolytes in the haemodynamically unstable patient, helping to identify early respiratory compromise. Jalur arteri akan membantu dalam penilaian gas darah arteri, status acidbase, profil koagulasi, dan elektrolit pada pasien tidak stabil haemodynamically, membantu untuk mengidentifikasi kompromi awal pernapasan.
Monitoring should be continued for at least a day after defervescence. Monitoring harus dilanjutkan setidaknya sehari setelah penurunan suhu badan sampai yg normal. Once the patient begins to recover, extravasated fluid is rapidly reabsorbed, causing a drop in haematocrit. Setelah pasien mulai sembuh, cairan extravasated dengan cepat diserap, menyebabkan penurunan hematokrit. Before discharge, the patient should meet the following criteria: absence of fever for 24 h (without antipyretics) and a return of appetite; improvement in the clinical picture; hospital care for at least 3 days after recovery from shock; no respiratory distress from pleural effusion or ascites; stable haematocrit; and platelet count greater than 50,000/ml76 Because convalescent-phase diagnostic samples are often difficult to obtain, a second blood sample should always be taken on the day of discharge. Sebelum dibuang, pasien harus memenuhi kriteria sebagai berikut: adanya demam selama 24 jam (tanpa antipiretik) dan kembalinya nafsu makan; perbaikan dalam gambaran klinis; perawatan rumah sakit selama 3 hari setelah sembuh dari shock, tidak ada gangguan pernapasan dari Pleural efusi atau asites, hematokrit stabil, dan jumlah platelet lebih besar dari 50.000 / ml76 Karena sampel-fase pemulihan diagnostik seringkali sulit untuk mendapatkan, sampel darah kedua harus selalu diambil pada hari debit.
PROSPECTS FOR CONTROL PROSPEK UNTUK PENGENDALIAN
Vaccine development Pengembangan vaksin
An effective vaccine will have to be tetravalent because pre-existing heterotypic dengue antibody is a risk factor for DHF. Sebuah vaksin yang efektif harus tetravalen karena ada heterotypic berdarah antibodi-pra merupakan faktor risiko untuk DBD. Candidate attenuated vaccine viruses have been evaluated in phase I and II trials in Thailand, and a tetravalent formulation is currently undergoing repeat phase I and II trials.[ 79 ] Advances have also been made with second generation recombinant dengue vaccines. A cDNA infectious clone of the DEN-2 PDK-53 vaccine candidate virus has been constructed, and work is in progress to construct chimeric viruses by inserting the capsid, premembrane, and envelope genes of DEN 1, 3 and 4 into the DEN-2 PDK-53 backbone. Calon dilemahkan virus vaksin telah dievaluasi dalam percobaan tahap I dan II di Thailand, dan formulasi tetravalen saat ini sedang menjalani tahap uji coba ulangi I dan II. [ 79 muka] juga telah dibuat dengan dengue generasi kedua vaksin rekombinan. A menular klon cDNA yang DEN-2 PDK-53 calon vaksin virus telah dibangun, dan ini sedang dalam proses untuk membangun virus chimeric dengan menyisipkan kapsid, premembrane, dan amplop gen dari DEN 1, 3 dan 4 menjadi tulang punggung-2 PDK-53 DEN. These recombinants, through genetic manipulation, may be made to replicate faster, be more immunogenic and safer.[ 80,81 ] However, an effective, safe and affordable vaccine is not an immediate prospect.[ 82 ] Rekombinan ini, melalui manipulasi genetik, dapat dilakukan untuk mereplikasi lebih cepat, lebih imunogenik dan aman [. 80,81 ] Namun, yang efektif, dan terjangkau vaksin yang aman bukan prospek langsung. [ 82 ]
Vector control Pengendalian vektor
At present dengue transmission can only be reduced by mosquito control. Pada transmisi berdarah ini hanya dapat dikurangi dengan pengendalian nyamuk. The task might seem a simple matter of the treatment or elimination of infested containers. Tugas tampaknya masalah sederhana dari perlakuan atau penghapusan kontainer penuh. Source (container) reduction campaigns have been very successful but they are hard to sustain, mainly because they are labour intensive, require discipline and diligence, and are plagued by diminishing returns. Sumber (kontainer) kampanye pengurangan telah sangat berhasil tetapi mereka sulit untuk mempertahankan, terutama karena mereka padat karya, membutuhkan disiplin dan ketekunan, dan diganggu oleh hasil yang menurun. Emphasis has shifted first to organochloride insecticides and later to organophosphorus larvicides, and aerosols targeted at adult mosquitoes and mostly applied outdoors as ultra-low volume (ULV) concentrates. Penekanan telah bergeser satu untuk insektisida organochloride dan kemudian ke larvicides organofosfat, dan aerosol ditargetkan pada nyamuk dewasa dan banyak juga digunakan di luar rumah sebagai volume ultra rendah (ULV) konsentratnya. The aerosols are principally recommended for emergency control during epidemic transmission as part of an integrated vector elimination effort, including environmental management, source reduction and larvicides.[ 76 ] Nevertheless, their routine use as the principal response even before and after dengue epidemics has become widespread. Para aerosol terutama dianjurkan untuk kontrol darurat selama transmisi epidemi sebagai bagian dari upaya eliminasi vektor terpadu, termasuk manajemen lingkungan, sumber reduksi dan larvicides [. 76 ] Namun demikian, mereka rutin digunakan sebagai respon pokok bahkan sebelum dan sesudah wabah demam berdarah telah menyebar luas . This is regrettable, because ULV aerosols have very limited surprisingly, therefore, there is no well-documented example of interruption of a dengue epidemic by outdoor ULV treatments.[ 76 ] Indoor treatments are probably much more effective but are very labour-intensive and intrusive. Hal ini disesalkan, karena ULV aerosol sangat terbatas mengejutkan, oleh karena itu, tidak ada didokumentasikan dengan baik contoh gangguan dari epidemi dengue oleh ULV perawatan di luar ruangan. [ 76 ] dalam ruangan perawatan mungkin jauh lebih efektif tetapi sangat padat karya dan mengganggu .
REFERENCES DAFTAR PUSTAKA
1.Rigau-Perez JG, Clark GG, Gubler DJ, Reiter P, Sanders EJ, Vorndam AV. -Perez JG 1.Rigau, GG Clark, DJ Gubler, P Reiter, Sanders EJ, AV Vorndam. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Dengue dan demam berdarah dengue. Lancet ???352 (9132) : 971-7. Lancet??? 352 (9132): 971-7.
2.Kautner I, Robinson MJ, Kuhnle U. Dengue virus infection : epi0. 2.Kautner Aku, Robinson MJ, Kuhnle U. infeksi virus Dengue: epi0. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 1991; 40 : 145-7. MMWR MORB Rep Wkly Mortal 1991; 40: 145-7.
5.Rosen L, Rozeboom LE, Sweet BH, Sabin AB. L 5.Rosen, Rozeboom LE, BH Sweet, Sabin AB. The transmission of dengue by Ae. Transmisi demam berdarah oleh Ae. polynesiensis. polynesiensis. Am J Trop Med Hyg 1954; 3 : 878-82. Am J Hyg ada gunanya Med 1954; 3: 878-82.
6.Rosen L. The global importance and epidemiology of dengue infection and disease. 6.Rosen L. Pentingnya global dan epidemiologi infeksi demam berdarah dan penyakit. In : Pang T, Pathmanathan R, editors. Dalam: T Pang, Pathmanathan R, editor. Proceedings of the International Conference on Dengue/DHF, Sept 1-3, 1982. Prosiding Konferensi Internasional tentang Demam Berdarah / DBD, September 1-3, 1982. Kuala Lumpur : University of Malaya. Kuala Lumpur: University of Malaya. 1983; 519. 1983; 519.
7.Nasidi A, Monath TP, De Cock K, Tomori O, Cordelier R, Olaleye OO, et al. 7.Nasidi A, TP Monath, De Cock K, Tomori O, R Cordelier, OO Olaleye, et al. Urban yellow fever epidemic in Western Nigeria, 1987. Urban epidemi demam kuning di Nigeria Barat, 1987. Trans Soc Trop Med Hyg 1989; 83 : 401-6. Trans Med Hyg ada gunanya Soc 1989; 83: 401-6.
8.Simmons JS, St Johns JH, Reynolds FHK. 8.Simmons JS, JH St Johns, Reynolds FHK. Experimental studies of dengue. Studi Eksperimental demam berdarah. Philip J Sci 1931; 44 : 1-251. Philip J Sci 1931; 44: 1-251.
9.Hammon WM, Rudnick A, Slather GE. WM 9.Hammon, Rudnick A, memboros GE. Viruses associated with epidemic haemorrhagic fevers of the Phillipines and Thailand. Virus yang terkait dengan epidemi demam berdarah dari Filipina dan Thailand. Science 1960; 131 : 1102-3. Science 1960; 131: 1102-3.
10.Gould DJ, Yuill TM, Moussa MA, Simasathien P, Rutledge LC. An insular outbreak of dengue haemorrhagic fever. 10.Gould DJ, Yuill TM, Moussa MA, Simasathien P, Rutledge LC. Picik Wabah demam berdarah dengue. III. III. Identification of vectors and observations on vector ecology. Identifikasi vektor dan pengamatan terhadap ekologi vektor. Am J Trop Med Hyg 1968; 17 : 609-18. Am J Hyg ada gunanya Med 1968; 17: 609-18.
11.Rico-Hesse R. Molecular evolution and distribution of dengue viruses type 1 and 2 in nature. 11.Rico-Hesse R. Molekul evolusi dan distribusi virus dengue tipe 1 dan 2 di alam. Virology 1990; 174 : 479-93. Virologi 1990; 174: 479-93.
12.Laird M. Editor. 12.Laird M. Editor. Commerce and spread of pests and disease vectors. Perdagangan dan penyebaran hama dan vektor penyakit. New York : Praeger. New York: Praeger. 1984. 1984.
13.Halstead SB. 13.Halstead SB. The pathogenesis of dengue. Patogenesis demam berdarah. Molecular epidemiology in infectious disease (Alexander D Langmuir lecture). Molekuler epidemiologi penyakit menular (Alexander D Langmuir kuliah). Am J Epidemiol 1984; 114 : 632-48. Am J Epidemiol 1984; 114: 632-48.
14.Service MW. 14.Service MW. Review : importance of ecology in Aedes aegypti control. Review: pentingnya ekologi dalam pengendalian Aedes aegypti. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1992; 23 : 681-90. Asia Tenggara J Med tak ada gunanya Kesehatan Masyarakat 1992; 23: 681-90.
15.Halstead SB. 15.Halstead SB. Selective primary health care : Strategies for control of disease in the developing world. Selektif pelayanan kesehatan primer: Strategi untuk pengendalian penyakit di negara berkembang. XI. XI. Dengue. Dengue. Rev Infect Dis 1984; 6 : 251-64. Menginfeksi Rev Dis 1984; 6: 251-64.
16.Fox I, Specht P. Evaluating ultra-low volume ground applications of malathion against Aedes aegypti using landing counts in Puerto Rico, 1980-1984. J Am Mosq Control Assoc 1988; 4 : 163-7. 16.Fox Aku, P. Specht Mengevaluasi volume aplikasi tanah rendah ultra malation terhadap Aedes aegypti menggunakan jumlah mendarat di Puerto Rico, 1980-1984.. J Am Assoc Mosq Control 1988; 4: 163-7
17.Gubler DJ, Rosen L. A simple technique for demonstrating transmission of dengue virus by mosquitoes without the use of vertebrate hosts. Am J Trop Med Hyg 1976; 25 : 146-50. 17.Gubler DJ, Rosen L. A teknik sederhana untuk menunjukkan penularan virus dengue dengan nyamuk tanpa menggunakan host vertebrata.. Am J Med tak ada gunanya Hyg 1976; 25: 146-50
18.Khin MM, Than KA. 18.Khin MM, Than KA. Transovarian transmission of dengue 2 viruses by Aedes aegypti in nature. transmisi Transovarian demam berdarah 2 virus oleh nyamuk Aedes aegypti di alam. Am J Trop Med Hyg 1983; 32 : 590-4. Am J Hyg ada gunanya Med 1983; 32: 590-4.
19.Hull B, Tikasingh E, De Souza M, Martinez R. Natural transovarial transmission of dengue 4 virus in Aedes aegypti in Trinidad. 19.Hull B, Tikasingh E, De Souza M, Martinez R. Alam transmisi transovarial demam berdarah 4 virus dalam nyamuk Aedes aegypti di Trinidad. Am J Trop Med Hyg 1984; 33 : 1248-5. Am J Hyg ada gunanya Med 1984; 33: 1248-5.
20.Cheong LL. 20.Cheong LL. The vectors of dengue and dengue haemorrhagic fever in Malaysia. Vektor demam berdarah dan demam berdarah dengue di Malaysia. In : Rudnick A, Lin TW, editors. Dalam: A, Lin TW, editor Rudnick. Dengue fever studies in Malaysia, bulletin 23. studi demam berdarah di Malaysia, buletin 23. Kuala Lumpur, Malaysia : Institute of Medical Research. 1986. Kuala Lumpur, Malaysia: Institut Penelitian Medis. 1986.
21.Lim JL. 21.Lim JL. Oviposition periodicitis, landing and biting frequencies and the use of ovitraps to control Aedes albopictus (Skuse) (dissertation). Kuala Lumpur, Malaysia:Institute of Medical Research. Oviposisi periodicitis, arahan dan frekuensi menggigit dan penggunaan ovitraps untuk mengendalikan albopictus Aedes (Skuse) (disertasi) Lumpur. Lumpur, Malaysia: Institut Riset Medis. 1979. 1979.
22.Anonymous. 22.Anonymous. New mosquito strain for Nigeria (letter). Baru nyamuk strain untuk Nigeria (surat). Lancet 1990; 339 : 1048. Lancet 1990; 339: 1048.
23.Grist NR. 23.Grist NR. Aedes albopictus : the tyre-travelling tiger. J Infect 1993; 27 : 1-4. Aedes albopictus: the-perjalanan harimau ban.. J menginfeksi 1993; 27: 1-4
24.Ward MA, Burgess NRH. MA 24.Ward, Burgess NRH. Aedes albopictus; a new disease vector in Europe? Aedes albopictus; vektor penyakit baru di Eropa? JR Army Med Corps 1993; 139 : 109-11. JR Army Med Corps 1993; 139: 109-11.
25.Westaway EG, Brinton MA, Gaimamovich S, Horzink MC, Igarashi A, Kaariainen L, et al. 25.Westaway EG, MA Brinton, S Gaimamovich, MC Horzink, Igarashi A, L Kaariainen, et al. Flaviridiae. Flaviridiae. Intervirology 1985; 24 : 183-92. Intervirology 1985; 24: 183-92.
26.Rice CM, Lenches EM, Eddy SR, Shin SJ, Sheets RL, Strauss JH. 26.Rice CM, EM Lenches, SR Eddy, SJ Shin, RL Sheets, JH Strauss. Nucleotide sequence of yellow fever virus : implications for flavivirus gene expression and evolution. Urutan nukleotida virus demam kuning: implikasi untuk ekspresi gen Flavivirus dan evolusi. Science 1985; 229 : 726-33. Science 1985; 229: 726-33.
27.Hahn YS, Galler R, Hunkapillar T, Dalrymple JM, Strauss JH, Strauss EG. 27.Hahn YS, Galler R, T Hunkapillar, JM Dalrymple, JH Strauss, Strauss EG. Nucleotide sequence of dengue-2 RNA and comparison of the encoded proteins with those of other flaviviruses. Urutan nukleotida berdarah-2 RNA dan perbandingan protein dikodekan dengan yang flaviviruses lainnya. Virology 1988; 162 : 167-80. Virologi 1988; 162: 167-80.
28.Irie K, Mohan PM, Sasaguri Y, Putnak R, Padmanabhan R. Sequence analysis of cloned dengue virus type-2 genome (New Guinea-C strain). 28.Irie K, Mohan PM, Sasaguri Y, Putnak R, R. Padmanabhan analisis urutan jenis virus kloning-2 genom dengue (Baru-C strain Guinea). Gene 1989; 74 : 197-211. Gene 1989; 74: 197-211.
29.Biedrzycka A, Cauchi MR, Bartholomensz A, Gorman JJ, Wright PJ. 29.Biedrzycka A, MR Cauchi, Bartholomensz A, JJ Gorman, PJ Wright. Characterization of protease cleavage sites involved in the formation of the envelope glycoprotein and three nonstructural proteins of dengue type-2, New Guinea C strain. Karakterisasi protease pembelahan situs terlibat dalam pembentukan glikoprotein amplop dan tiga protein nonstruktural berdarah tipe 2,-New Guinea C strain. J Gen Virol 1987; 68 : 1317-26. J Gen Virol 1987; 68: 1317-1326.
30.Mackow E, Makino Y, Zhoa B, Zhang YM, Markoff L, Buckler-White A, et al. 30.Mackow E, Y Makino, B Zhoa, Zhang YM, Markoff L, Buckler-Putih A, et al. The nucleotide sequence of dengue type 4 virus : analysis of the genes encoding for nonstructural proteins NS2A, NS2B, NS3, NS4B and NS5 of the flavivirus Kunjin and their cleavage sites. Urutan nukleotida jenis virus dengue 4: analisis dari penyandian gen protein nonstruktural NS2A, NS2B, NS3, NS4B dan NS5 dari Kunjin Flavivirus dan situs disosiasinya. J Gen Virol 1987; 69 : 23-4. J Gen Virol 1987; 69: 23-4.
31.Speight G, Coia G, Parker MD, Westaway EG. 31.Speight G, G Coia, MD Parker, EG Westaway. Gene mapping and positive identification of nonstructural proteins NS2A, NS2B, NS3, NS4B and NS5 of the flavivirus Kunjin and their cleavage sites. Gene pemetaan dan identifikasi positif dari protein nonstruktural NS2A, NS2B, NS3, NS4B dan NS5 dari Kunjin Flavivirus dan situs disosiasinya. J Gen Virol 1988; 69 : 23-34. J Gen Virol 1988; 69: 23-34.
32.Chambers TJ, McCourt DW, Rice CM. TJ 32.Chambers McCourt DW,, CM Rice. Yellow fever virus proteins NS2A, NS2B and NS4B : identification and partial N-terminal amino acid sequence analysis. protein virus demam Kuning NS2A, NS2B dan NS4B: identifikasi dan parsial N-terminal analisis urutan asam amino. Virology 1989; 169 : 100-9. Virologi 1989; 169: 100-9.
33.Markoff L. In vitro processing of dengue virus structural proteins. 33.Markoff L. in vitro pengolahan protein struktural virus dengue. J Virol 1989; 63 : 3345-52. J Virol 1989; 63: 3345-52.
34.Preugschat F, Yao CW, Strauss JH. 34.Preugschat F, CW Yao, JH Strauss. In vitro processing of dengue virus type 2 nonstructural proteins NS2A, NS2B and NS3. In vitro pengolahan tipe virus dengue 2 protein nonstruktural NS2A, NS2B dan NS3. J Virol 1990; 64 : 4364-74. J Virol 1990; 64: 4364-74.
35.Falgout B, Pethel M, Zhang YM, Lai CJ. 35.Falgout B, M Pethel, Zhang YM, Lai CJ. Both nonstructural proteins NS2B and NS3 are required for the proteolytic processing of dengue virus nonstructural proteins. Kedua protein nonstruktural NS2B dan NS3 diperlukan untuk pengolahan proteolitik protein virus dengue nonstruktural. J Virol 1991; 65 : 2467-75. J Virol 1991; 65: 2467-75.
36.Preugschat F, Lenches EM, Strauss JH. 36.Preugschat F, EM Lenches, JH Strauss. Flavivirus enzyme-substrate interactions studied with chimeric proteinases : Identification of an intragenic locus important for substrate recognition. Flavivirus enzim-substrat interaksi belajar dengan proteinase chimeric: Identifikasi suatu lokus intragenik penting untuk pengenalan substrat. J Virol 1991; 65 : 4749-58. J Virol 1991; 65: 4749-58.
37.Preugschat F, Strauss JH. 37.Preugschat F, JH Strauss. Processing of nonstructural proteins NS4A and NS4B of dengue 2 viruses in vitro and in vivo. Pengolahan protein nonstruktural NS4B NS4A dan demam berdarah 2 virus in vitro dan in vivo. Virology 1991; 185 : 689-97. Virologi 1991; 185: 689-97.
38.Cahour A, Falgout B, Lai CJ. 38.Cahour A, B Falgout Lai, CJ. Cleavage of the dengue virus polyprotein at the NS3/NS4A and NS4B/NS5 junctions is mediated by viral protease NS2B-NS3, whereas NS4A/NS4B may be processed by a cellular protease. Pembelahan dari polyprotein virus dengue di persimpangan NS4B/NS5 NS3/NS4A dan ditengahi oleh virus protease NS2B-NS3, sedangkan NS4A/NS4B dapat diproses oleh protease selular. J Virol 1992; 66 : 1535-42. J Virol 1992; 66: 1535-1542.
39.Schlesinger JJ, Brandiss MW, Walsh EE. 39.Schlesinger JJ, MW Brandiss, EE Walsh. Protection against 17D yellow fever encephalitis in mice by passive transfer of McAbs to the nonstructural glycoprotein gp48 and by active immunization with gp48. Perlindungan terhadap 17d ensefalitis demam kuning pada tikus melalui transfer pasif McAbs ke glikoprotein nonstruktural gp48 dan dengan imunisasi aktif dengan gp48. J Immunol 1985; 135 : 2805-9. J Immunol 1985; 135: 2805-9.
40.Falgout B, Chanock R, Lai CJ. 40.Falgout B, R Chanock, Lai CJ. Proper processing of dengue virus nonstructural glycoprotein NS1 requires the N-terminal hydrophobic signal sequence and the downstream nonstructural protein NS2a. pengolahan yang tepat dari virus dengue NS1 glikoprotein nonstruktural memerlukan terminal hidrofobik sinyal urutan-N dan protein nonstruktural NS2a hilir. J Virol 1989; 63 : 1852-60. J Virol 1989; 63: 1852-1860.
41.Rice CM, Strauss EG, Strauss JH. CM 41.Rice, Strauss EG, JH Strauss. Structure of the flavivirus genome. Struktur dari genom Flavivirus. In : Schlesinger S, Schlesinger M, editors. Dalam: Schlesinger S, M Schlesinger, editor. The togaviridae and flaviviridae. New York : Plenum. The Togaviridae dan Flaviviridae York. Baru: Plenum. 1986. 1986.
42.Halstead SB. 42.Halstead SB. Dengue haemorrhagic fever : a public health problem and a field for research. Demam berdarah dengue: masalah kesehatan masyarakat dan lapangan untuk penelitian. Bull World Health Organ 1980; 58 : 1-21. Bull World Health Organ 1980; 58: 1-21.
43.Hayes EB, Gubler DJ. 43.Hayes EB, DJ Gubler. Dengue and dengue hemorrhagic fever. Pediatr Infect Dis J 1992; 11 : 311-7. Dengue dan demam berdarah.. Pediatr menginfeksi Dis J 1992; 11: 311-7
44.Halstead SB, Nimmannitya S, Cohen SN. 44.Halstead SB, S Nimmannitya, SN Cohen. Observations related to pathogenesis of dengue hemorrhagic fever, IV, relation of disease severity to antibody response and virus recovered. Pengamatan yang terkait dengan patogenesis demam berdarah, IV, hubungan keparahan penyakit untuk respon antibodi dan virus pulih. Yale J Biol Med 1979; 42 : 311-28. Yale Biol Med J 1979; 42: 311-28.
45.Halstead SB. 45.Halstead SB. Dengue. Dengue. In Warren KS, Mahmoud AAF, editors. Tropical and geographical medicine. Dalam Warren KS, Mahmoud AAF, editor dan. Tropis obat geografis. New York : McGraw-Hill. New York: McGraw-Hill. 1990; 675-85. 1990; 675-85.
46.Hathirat P, Isarangkura P, Srichaikul T, Suvatte V, Mitrakul C. 46.Hathirat P, P Isarangkura, T Srichaikul, V Suvatte, Mitrakul C. Abnormal hemostasis in dengue hemorrhagic fever. Abnormal hemostasis pada demam berdarah. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1993; 24 : 80-4. Asia Tenggara J Med tak ada gunanya Kesehatan Masyarakat 1993; 24: 80-4.
47.Mary N, Molanida CR, Guzman M, Laberuza F. Prothrombin time and partial thromboplastin time as a predictor of bleeding in patients with dengue hemorrhagic fever. 47.Mary N, Molanida CR, Guzman M, Laberuza F. prothrombin waktu dan waktu tromboplastin parsial sebagai prediktor perdarahan pada pasien dengan demam berdarah. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1993; 24 : 141-3. Asia Tenggara J Med tak ada gunanya Kesehatan Masyarakat 1993; 24: 141-3.
48.Kalayanarooj S, Vaughn DW, Nimmannitya S, et al. 48.Kalayanarooj S, DW Vaughn, S Nimmannitya, et al. Early clinical and laboratory indicators of acute dengue illness. Awal laboratorium klinis dan indikator penyakit akut berdarah. J Infect Dis 1997; 176 : 313-21. Menginfeksi J Dis 1997; 176: 313-21.
49.Rigau-Perez JG and the Puerto Rico Association of Epidemiologists. The clinical manifestations of dengue hemorrhagic fever in Puerto Rico, 1990-91. Pan Am J Public Health 1997; 1 : 381-88. 49.Rigau-Perez JG dan Puerto Rico Asosiasi epidemiologi. Manifestasi klinis demam berdarah di Puerto Rico, 1990-91.. Pan Am J Public Health 1997; 1: 381-88
50.Martinez Torres E. Dengue y dengue hemorragico : aspectos clinicos. Torres E. 50.Martinez hemorragico berdarah dengue y: clinicos aspectos. Salud Publica Mex 1995; 37 (Suppl) : 29-44. Salud Publica Mex 1995; 37 (Suppl): 29-44.
51.Tassniyom S, Vasanawathana S, Chirawatkul A, Rojanasuphot S. 51.Tassniyom S, Vasanawathana S, Chirawatkul A Rojanasuphot, S. Failure of high-dose methylprednisolone in established dengue shock syndrome : a placebo-controlled, double-blind study. Kegagalan methylprednisolone dosis tinggi dalam sindrom shock dengue didirikan: sebuah dikontrol, double-blind studi plasebo. Pediatrics 1993; 92 : 111-15. Pediatrics 1993; 92: 111-15.
52.Nimmannitya S. Dengue fever/dengue haemorrhagic fever: case management. 52.Nimmannitya S. demam berdarah dengue demam berdarah /: manajemen kasus. Trop Med (Nagasaki) 1994; 36 : 249-56. Tak ada gunanya Med (Nagasaki) 1994; 36: 249-56.
53.Halstead SB. 53.Halstead SB. Pathogenesis of dengue : challenge to molecular biology. Patogenesis demam berdarah: tantangan untuk biologi molekular. Science 1988; 239 : 476-81. Science 1988; 239: 476-81.
54.Cobra C, Rigau-Perez JG, Kuno G, Vorndam V. Symptoms of dengue fever in relation to host immunologic response and virus serotype, Puerto Rico, 1990-1991. 54.Cobra C, Rigau-Perez JG, Kuno G, Vorndam V. Gejala demam berdarah dalam kaitannya dengan host tanggapan kekebalan dan serotipe virus, Puerto Rico, 1990-1991. Am J Epidemiol 1995; 142 : 1204-11. Am J Epidemiol 1995; 142: 1204-1211.
55.Wang S, He R, Patarapotikul J, Innis BL, Anderson R. Antibody-enhanced binding of dengue-2 virus to human platelets. 55.Wang S, la R, Patarapotikul J, Innis BL, Anderson R. Antibodi yang disempurnakan mengikat demam berdarah-2 virus untuk platelet manusia. Virology 1995; 213 : 254-7. Virologi 1995; 213: 254-7.
56.Mukerjee R, Chaturvedi UC, Dhawan R. Dengue virus induced human cytotoxic factor : production by peripheral blood leukocytes in vitro. Clin Exp Immunol 1995; 102 : 262-7. 56.Mukerjee R, Chaturvedi UC, R. Dhawan diinduksi virus Dengue faktor sitotoksik manusia: produksi oleh leukosit darah perifer in vitro.. Clin Exp Immunol 1995; 102: 262-7
57.Varma MGR, Pudney M, Leake CJ. 57.Varma Mgr, M Pudney, CJ Leake. Cell lines from larvae of Aedes (Stegomyia) malayensis (Colless) and Aedes (S.) pseudoscutellaris (Theobald) and their infection with some arboviruses. baris sel dari larva Aedes (Stegomyia) malayensis (Colless) dan Aedes (S.) pseudoscutellaris (Theobald) dan infeksi mereka dengan beberapa arboviruses. Trans R Soc Trop Med Hyg 1974; 68 : 374-82. Trans R Soc Med tak ada gunanya Hyg 1974; 68: 374-82.
58.Igarashi A. Isolation of a Singh's Aedes albopictus cell clone sensitive to dengue and chikungunya viruses. 58.Igarashi A. Isolasi dari Singh Aedes albopictus klon sel sensitif terhadap dengue dan virus Chikungunya. J Gen Virol 1978; 40 : 531-44. J Gen Virol 1978; 40: 531-44.
59.Race MW, Agostini CFN, Fortune RAJ, Varma MGR. 59.Race MW, CFN Agostini, RAJ Fortune, Varma Mgr. Isolation of dengue viruses in mosquito cell cultures under field conditions. Isolasi virus dengue dalam budaya sel nyamuk dalam kondisi lapangan. Lancet 1978; 1 : 48-9. Lancet 1978; 1: 48-9.
60.Tesh RB. 60.Tesh RB. A method for the isolation and identification of dengue viruses using mosquito cell cultures. Sebuah metode untuk isolasi dan identifikasi virus dengue menggunakan sel kultur nyamuk. Am J Trop Med Hyg 1979; 28 : 1053-9. Am J Hyg ada gunanya Med 1979; 28: 1053-9.
61.Henchal EA, Gentry MK, McCown JM, Brandt WE. EA 61.Henchal, MK Gentry, JM McCown, Brandt KITA. Dengue virus-specific and flavivirus group determinants identified with monoclonal antibodies by indirect immunofluorescence. Dengue virus-spesifik dan penentu kelompok Flavivirus diidentifikasi dengan antibodi monoklonal oleh immunofluorescence tidak langsung. Am J Trop Med Hyg 1982; 31 : 830-6. Am J Hyg ada gunanya Med 1982; 31: 830-6.
62.Henchal EA, McCown JM, Seguin MC, Gentry MK, Brandt WE. Rapid identification of dengue virus isolates by using monoclonal antibodies in an indirect immunofluorescence assay. 62.Henchal EA, McCown JM, Seguin MC, MK Gentry, Brandt WE identifikasi yang cepat. Dengue virus isolat dengan menggunakan antibodi monoklonal dalam immunofluorescence assay tidak langsung. Am J Trop Med Hyg 1983; 32 : 164-9. Am J Hyg ada gunanya Med 1983; 32: 164-9.
63.Rosen L, Gubler F. The use of mosquitoes to detect and propagate dengue viruses. 63.Rosen L, Gubler F. Penggunaan nyamuk untuk mendeteksi dan menyebarkan virus demam berdarah. Am J Trop Med Hyg 1974; 23 : 1153-60. Am J Hyg ada gunanya Med 1974; 23: 1153-1160.
64.Thet-Win. 64.Thet-Win. Detection of dengue virus by immunofluorescence after intracerebral inoculation of mosquitoes. Deteksi virus dengue oleh immunofluorescence setelah inokulasi intraserebral nyamuk. Lancet 1982; 1 : 53-4. Lancet 1982; 1: 53-4.
65.Pang T, Lam SK, Chew CB, Poon GK, Ramalingam S. Detection of dengue virus by immunofluorescence following inoculation of mosquito larvae. Lancet 1983; 1 : 1271. T 65.Pang, Lam SK, Chew CB, Poon GK, Ramalingam S. Deteksi virus dengue oleh immunofluorescence berikut inokulasi larva nyamuk.. Lancet 1983; 1: 1271
66.Lam SK, Chew CB, Poon GK, Ramalingam S, Sewo SC, Pang T. Isolation of dengue viruses by intracerebral inoculation of mosquito larvae. J Virol Methods 1986; 14 : 133-40. 66.Lam SK, Chew CB, Poon GK, Ramalingam S, Sewo SC, Pang T. Isolasi virus dengue dengan inokulasi intraserebral larva nyamuk.. J Virol Metode 1986; 14: 133-40
67.Innis BL, Nisalak A, Nimmannitya S, Kusalerdchariya S, Chongwasdi V, Suntayakorn S, et al. 67.Innis BL, Nisalak A, S Nimmannitya, Kusalerdchariya S, Chongwasdi V, S Suntayakorn, et al. An enzyme-linked immunosorbent assay to characterize dengue infections where dengue and Japanese encephalitis co-circulate. Sebuah link immunosorbent assay-enzim untuk mengkarakterisasi infeksi demam berdarah dengue dan Jepang di mana ensefalitis co-beredar. Am J Trop J Med Hyg 1989; 40 : 418-27. Am J Med Hyg ada gunanya J 1989; 40: 418-27.
68.Clarke DH, Casals J. Techniques for hemagglutination and hemagglutination-inhibition with arthropod-borne viruses. 68.Clarke DH, Casals J. Teknik untuk hemaglutinasi dan inhibisi hemaglutinasi-dengan-ditanggung virus arthropoda. Am J Trop Med Hyg 1958; 7 : 561-73. Am J Hyg ada gunanya Med 1958; 7: 561-73.
69.Gubler DJ. 69.Gubler DJ. Dengue, In : Monath TP, editor. Demam Berdarah, Dalam: Monath TP, editor. The arboviruses: epidemiology and ecology, Boca Ratol (FL) : CRC Press. The arboviruses: epidemiologi dan ekologi, Boca Ratol (FL): CRC Press. 1984; 2 : 223-60. 1984; 2: 223-60.
70.Lam SK, Devi S, Pang T. Detection of specific IgM in dengue infection. 70.Lam SK, Devi S, T. Pang Deteksi IgM spesifik pada infeksi dengue. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1987; 18 : 532-8. Asia Tenggara J Med tak ada gunanya Kesehatan Masyarakat 1987; 18: 532-8.
71.Cardosa MJ, Tio PH, Noorsham. 71.Cardosa MJ, PH Tio, Noorsham. Development of a dot enzyme assay for dengue 3: a sensitive method for the detection of anti-dengue antibodies. J Virol Methods 1988; 22 : 81-8. Pengembangan dot assay enzim untuk 3 berdarah: sebuah metode yang sensitif untuk mendeteksi antibodi anti-dengue.. J Virol Metode 1988; 22: 81-8
72.Cardosa MJ, Noorsham S, Tio PH, Lim SS. 72.Cardosa MJ, S Noorsham, PH Tio, SS Lim. A dot enzyme immunoassay for dengue 3 virus: comparison with haemagglutination inhibition test. Sebuah dot immunoassay enzim untuk dengue virus 3: perbandingan dengan uji inhibisi haemagglutination. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1988; 19 : 591-4. Asia Tenggara J Med tak ada gunanya Kesehatan Masyarakat 1988; 19: 591-4.
73.Cardosa MJ, Baharudin F, Hamid S, Tio PH, Nimmanitya S. A nitrocellulose membrane based IgM capture enzyme immunoassay for etiological diagnosis of dengue virus infections. Clin Diagn Virol 1995; 3 : 343-50.
74.Tassniyom S, Vasanawathana S, Chirawatkul A, Rojanasuphot S. Failure of high-dose methylprednisolone in established dengue shock syndrome : a placebo-controlled, double-blind study. Pediatrics 1993; 92 : 111-15.
75.World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever:diagnosis, treatment and control. Geneva : WHO. 1986; 7-15.
76.Pan American Health Organization. Dengue and dengue hemorrhagic fever in the Americas : guidelines for prevention and control. Washington, DC : PAHO. Sci Publ 1994; 548 : 3-20, 49-58, 69-70.
77.Martinez Torres E. Dengue y dengue hemorragico : aspectos clinicos. Salud Publica Mex 1995; 37 (Suppl) : 29-44.
78.Laferl H. Pleural effusion and ascites on return from Pakistan. Lancet 1997; 350 : 1072.
79.Bhamarapravati N, Yoksan S. Live attenuated tetravalent dengue vaccine. In : Gubler DJ, Kuno G, eds. Dengue and dengue hemorrhagic fever. International, Wallingford, UK : CAB. International. Internasional. 1997; 367-77.
80.Kinney RM, Butrapet S, Chang GJ, et al. Construction of infectious cDNA for dengue 2 virus : strain 16681 and its attenuated vaccine derivative, strain PDK-53. Virology 1997; 230 : 300-08.
81.Trent DW, Kinney RM, Huang CY-H. Recombinant dengue virus vaccines. In : Gubler DJ, Kuno G, eds. Dengue and dengue hemorrhagic fever. Wallingford, UK : CAB International. 1997; 379-403.
82.Chambers TJ, Tsai TF, Pervokov Y, Monath TP. Vaccine development against dengue and Japanese encephalitis : report of a World Health Organization meeting. Vaccine 1997; 15 : 1494-502.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Kritik dan Saran